free counters

Selasa, 12 April 2011

QOSIDAH KEPERGIAN


Dengan mata keperihan yang tajam kumaknai kepergianmu
Dipucuk cuaca, tangisku pecah dan menggaum segera ke pelosok bumi
Kepergianmu, adalah saat yang menghidupkan ketandusan bagi nafasku
Kepergianmu, adalah mayat yang tumbuh dari sembarang kubur dari pemakaman

Sepanjang gerimis, aku kembali pada mula dan berpulang pada mimpi terpahit
Sungguh telah kuteguk setetes arak dan segumpal pil tidur
Tapi, bayangan wajahmu masih saja meninggalkan tujuh ketuk air mataku
Kiranya empedu tak sesederhana gerak pisau yang menancap di leher panjangku
Mungkinkah diriku mencari dirimu dari setiap kepergian yang mencipatakan jarak dan menjauhkan kau dari pelukku
Tapi, dalam gelap tak terasa betapa hanya makna kekeringan yang menemani kepergianmu

Kepergianmu, sesosok kelelapan berpisau yang menguliti ragaku
Degup laut yang bergelombang adalah duri yang tumbuh subur di benakku
Langit kelabu dan nyanyian senyap bayang-bayang membutakan mataku
Ingin kukatakan sesuatu padamu, tetapi kata-kata telah kehilangan kicaunya
Kubayangkan baringmu dihitam ranjang menghangatkan tubuhku
Tapi, sebutir pohon tak berdaun yang tegak di pinggir jalan merintihkan sendu

Kebisuan melayang berliuk di angkasa menyapu segala ruang yang pernah dilewati awan
Kurassa telah kukubur mendung, tapi dalam kesendirianku hanya bulan penanggung derita yang pernah terperangkap membusuk dalam kalbu
Kiranya cinta yang kehilangan induknya ini segarang debur ombak di tengah samudera
Makin dekat aku pada kenangan wajahmu, makin dekat aku pada pilu

Kau…. Gadis dengan kulit sehangat dekap dan bibir selembut kecup
Pesonamu adalah surga hitam bagi hasrat dan kesepian-kesepianku
Tak ada perempuan, tak ada pelukan dan akupun tertidur dengan kalbu terjaga
Pulau-pulau yang kesepian menaburkan rindu
Setegak pohon purba tepi danau kini tamat melapuk digerogoti tahun
Kini aku makin renta sayangku makin luka, dipelupuk asmara berduka

Seteguk sajak gelap kuletuskan bagai peluru
Kepergianmu adlah gema mengahapus kepak kupu-kupu dalam batinku
Surga makin jauh dari sujudku
Takwa makin jauh dari imanku
Tak ada yang bias kuingat dari sekelumit murung riwayatku, selain derita dan duka

Kepergianmu, sebentuk kekeringan yang menusuk bagai seikat tali duri yang tajam, perih, perih dan sangatlah perih
Cinta sungguh adalah arsitek bagi kehidupan dan kematianku
Kehampaan berbentuk burung menyerang kesadaranku
Tak pernah kuminta derita, tetapi ingatan wajahmu selalu memanggil pulang keperihanku
Tak ada bulan atau sekedar ucap selembut nada bagi hati yang pilu
Isyarat cuaca dari duka tak terkatakan yang memerah
                        Yang menerbitkan
                                                Ajal
                                                            “Ajalku”
Oleh: hati yang telah lama terluka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar