free counters

Minggu, 18 Maret 2012

RESUME BUKU



Rukiati, J. Enung dan Hikmawati, Fenti. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Buku ini mengkaji tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejak zaman masuknya Islam ke Indonesia sampai abad modern. Pada bagian awal, buku ini membahas tentang kehidupan bangsa Indonesia sebelum masuknya Islam dan menerangkan proses masuknya Islam ke Indonesia. Pembahasan pokok dalam buku ini adalah tentang pendidikan Islam di daerah-daerah Indonesia, pendidikan pada masa penjajahan, serta organisasi dan tokoh Islam Indonesia pasca kemerdekaan serta peranannya dalam pendidikan di Indonesia. Pada bagian ahir, buku ini menjelaskan tentang perempuan, baik proses pembuatan perempuan, hak-hak perempuan, pendidikan perempuan Indonesia dan tokoh-tokoh pendidikan perempuan Indonesia.
Sejarah Islam Indonesia adalah ilmu yang membahas tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dari masa ke masa sejak masuknya Islam ke Indonesia sampai sekarang. Objek kajian sejarah pendidikan Islam di Indonesia adalah pertumbuhan dan perkembangannya baik secara formal, informal, maupun non formal. Metode yang ditempuh biasanya adalah keterpaduan antara metode diskriptif, kompratif, dan analisis sintesis. Sedangkan kegunaan belajar sejarah pendidikan Islam di Indonesia adalah sebagai faktor keteladanan, cermin, perbandingan, dan perbaikan keadaan. Adapun fase-fase yang dilalui sejarah pendidkan Islam di Indonesia adalah masuknya Islam ke Indonesia, pengembagan, politik, penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, orde lama dan orde baru, dan pembangunan.
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M/ 1 H, tetapi baru meluas pada abad ke- 13 M. Perluasan Islam ditandai dengan adanya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak tahun 1292 dan Samudra Pasai tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di pantai Samudra Utara dan urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian timur- walaupun di sana terjadi peperangan. Masuknya Islam ke Indonesia dan peralihan dari Hindu ke Islam umumnya secara damai.
Masa kerajaan Islam merupakan salah satu dari priodesasi perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini karena lahirnya kerajaan Islam yang disertai kebijakan dari penguasanya saat itu sangat mewarnai sejarah Islam di Indonesia. Terlebih-lebih, agama Islam juga pernah dijadikan sebagai agama resmi negara atau kerjaan pada masa itu.
Kerajaan Aceh Darusslam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaedah 916 H menyatakan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu. Hal ini merupakan tempaan sejak berabad-abad yang lalu, yang berlandaskan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan. Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjananya yang terkenal di dalam dan di luar negeri sehingga banyak orang yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu. Bahkan, ibukota kerajaan Aceh Darusslam terus berkembang menjadi kota internasional dan menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Adapun jenjang pendidikan yang ada di Aceh adalah: Meunasah (Madrasah), Rangkang (Madrasah Tsanawiyah), Dayah (Madrasah Aliyah), dan Dayah Teuku Cik (Perguruan Tinggi).
Sejarah pendidikan Islam di Jawa berlainan dengan keadaannya di Sumatera, Sulaweai, dan Maluku. Ajaran Islam di Jawa tersebar dari pelabuhan dan bandar-bandar tenpat perhubungan antara Indonesia dan luar negeri. Akibat hubungan ini, para pedagang Indonesia mendengar dan mengetahui tentang Islam dan juga tentang pendidikan Islam melalui percakapan mereka sehari-hari.
Lain halnya dengan Maluku, pelaksanaan pendidikan ketika itu telah maju dibanding dengan daerah-daerah lainnya karena telah didirikan pesantren dan madrasah yang lebih terorganisasi. Madrasah di Ambon yang terkenal pada masa itu adalah madrasah Mahasinul Akhlak, yang telah banyak mengeluarkan para pemuda Islam yang terjn secara langsung kepada masyarakat sebagai guru dan pemimpin agama.
Pendidikan di Kalimantan dimulai pada tahun 1716 M, di sana terdapat ulama besar yang bernama Syekh Arsyad Al-Banjari di Desa Kalampayan yang terkenal sebagai pendidik dan muballigh besar. Pengaruhnya meliputi seluruh Kalimantan. Mengenai Sulawesi ajaran Islam sejak dahulu berkembang pesat. Banyak pesantren berdiri dan berkembang pesat pula. Perkembangan itu mulai pesat sejak adanya alim ulama Bugis yang datang dari tanah suci Mekkah, yang bermukim di sana selama beberapa tahun lamanya. Syekh As’ad di Singkang adalah salah seorang yang berjasa dalam perkembangan pondok pesantren. Sistem dan rencana pengajaran pesantren di Sulawesi hampir sama dengan sistem dan pengajaran di Sumatera dan Jawa, yaitu bersumber dari Mekkah. Kemudian, berangsur-angsur didirikan madrasah-madrasah yang memakai bangku, meja, dan papan tulis.
Di Nusa Tenggara pada tanggal 15 Jumadil Akhir H. Muhammad Zainuddin yang merupakan salah satu ulama besar di Pancor, Lombok Timur mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah dan juga Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah yang ditujukan pada murid-murid perempuan.
Kedatangan bangsa barat di satu pihak membawa dampak pada kemajuan teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak dinikmati oleh penduduk pribumi. Tujuannya hanyalah meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan, mereka telah memperkenalkan metode dan sistem baru, dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Kenyataannya, Belanda sebagai negara penjajah benar-benar mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan dari bumu Nusantara ini. Apa yang mereka sebut dengan pembaharuan tidak lain adalah Westernisasi dan Kristenissasi, yang kesemuanya dilakukan untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Belanda di Indonesia selama 3,5 abad.
Sebelum tahun 1900, kita mengenal pendidikan Islam secara perseorangan, melalui rumah tangga dan surau/langgar atau masjid. Pendidikan secara perseorangan dan rumah tangga itu lebih mengutamakan pelajaran praktis, misalnya tentang ketuhanan, keimanan, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Belum ada pemisahan mata pelajaran tertentu dan pelajaran yang diberikanpun belum sistematis. Lembaga-lembaga Islam sebelum tahun 1900 masi relatif sedikit dan berlangsung secara sederhana. Setelah itu, dalam periode yang disebut peralihan ini telah banyak berdir tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syeikh H. Ibrahim Parabek dan di Pulau Jawa seperti Pesantren Tebuireng, namun sistem madrasah belum dikenal.
Pada waktu ini kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap Pendidikan Islam Indonesia sangat ketat. Di Samping itu, pemerintah kolonial juga gencar mempropagandakan pendidikan yang mereka kelola, yaitu pendidikan yang membedakan antara golongan Priyayi atau pejabat bahkan yang beragama Kristen.
Gaung isu nasionalisme merambah ke mana-mana. Ini berkat tampilnya Budi Utomo pada tahun 1908 yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa perjuangan bangsa Indonesia yang selama ini cuma mengandalkan kekuatan dan kedaerahan tanpa memperhatikan persatuan sulit untuk mencapai keberhasilan. Karena itulah, sejak tahun 1908 timbul kesadaran baru bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.
Setelah Belanda, Jepang muncul sebagai negara kuat Asia. Bangsa Jepang bercita-cita menjadi pemimpin Asia Raya, dan hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Menurutt rencana tersebut, Jepang ingin menjadi pusat lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Daratan Cina, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Thailand, Indo China, dan Rusia.
Pendidikan pada zaman Jepang disebut Hakko Ichiu, yakni bangsa mengajak bangsa Indonesia bekerja sama dalam rangka kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu, setiap hari pelajar terutama pada pagi hari harus mengucapkan umpah setia pada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan di zaman Jepang berbeda dengan penjajahan Belanda. Sekolah-sekolah yang ada pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang. Segala daya upaya ditujukan untuk kepentingan perang. Murid-murid hanya mendapat pengetahuan yang sangat sedikit sekali. Hampir sepanjang hari, mereka mengikuti kegiatan latihan perang atau bekerja.
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana dianjurkan oleh BPKNP tanggal 27 Desember 1945. Badan ini menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah mendapat perhatian dan bantuan material dari pemerintah.
Latar belakang munculnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia lebih banyak dikarenakan mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme sekaligus sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai alat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah pertama diwujudkan dalam bentuk kesadaran berorganisasi.
Dengan gigih dan mengorbankan jiwa maupun harta, melalui organisasi umat Islam, mereka menyumbangkan andil besar dalam merebut kemerdekaan. banyak pahlawan yang gugur dalam medan peperangan sebagai kusuma bangsa. Dari organisasi ini ditumbuhkan dan dikembangkan sikap dan rasa Nasionalisme di kalangan rakyat melalui pendidikan. Di antara organisasi iitu adalah:
Jami’at Khair yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Hal penting yang dapat dicatat bahwa Jami’at Khair merupakan organisasi modern pertama dalam masyarakat Islam di Indonesia, yang memiliki AD/ART, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat secara berkala, dan mendirikan lembaga pendidikan dengan memakai sistem yang boleh dikatakan cukup modern, di antaranya memiliki kurikulum, kelas-kelas, pemakaian bangku, alat tulis, dan sebagainya. Dengan demikian, Jami’at Khair bisa dikatakan sebagai pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia.
Muhammadiyah; yaitu organisasi yang berdasarkan agama Islam, sosial, dan kebangsaan; sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan juga sampai sekarang ini. Organisasi ini didirikan pada tanggal 8 Dzul Hijjah 1330 H oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat pendidikan, serta tidak memisah-misahkan antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Dengan demikian diharapkan bangsa Indonesia dapat dididik menjadi bangsa yang utuh berkepribadian, yaitu pribadi yang berpengetahuan umum luas dan agama yang mendalam.
Nahdatul Ulama’ (NU); didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M, yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. Motivasi utama berdirinya NU adalah mengorganisasikan potensi dan peranan ulama pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas, yang bagi NU dijadikan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama’ pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak terbatas pada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Al-Irsyad didirikan pada tahun 1983 oleh perhimpunan Al-Irsyad jakarta dengan pelopornya Ahmad Surkai Al-Anshari. Tujuan perkumpualn Al-Irsyad ialah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan orang Arab di Indonesia. Selain bergerak di bidang pendidikan, Al-Irsyad juga bergerak di bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul secara murni dan konsekuen.
Perserikatan Ulama’; organisasi ini didirikan atas inisiatif KH. Abdul Halim pada tahun 1911 sebagai perwujudan dari lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia, khususnya terjadi di Malajengka, Jawa Barat. Termotifasinya KH. Abdul Halim dalam melaksanakan berbagai kegiatan, terutama di bidang pendidikan, di antaranya karena pengalaman selama di Mekkah yang membuatnya cukup terkesan dengan dua lembaga pendidikan yaitu Bab Al-Salam dekat Mekkah dan yang lainnya di Jeddah. Lembaga pendidikan tersebut sudah menerapkan sistem pendidikan yang cukup maju dengan meninggalkan sistem lama yang memakai. Inilah yang mengilhaminya untuk mengadakan perubahan sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya sekembalinya ke tanah air. Di samping itu, yang juga memotifasinya adalah ia ingin membuktikan kepada pihak familinya yang kebanyakan golongan priyayi, bahwa ia mampu melayani masyarakat dengan baik.
Persatuan Islam (Persis); didirikan pada tanggal 17 September 1923 oleh KH. Zamzam. Kegiatan Persis di antaranya mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah, dan menerbitkan famflet, majalah, serta kitab. Penerbitannya inilah yang meneyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikirannya. Penerbitan ini juga yang dijadikan referensi oleh guru-guru organisasi lain seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah. Dalam kegiatan ini, persis mendapatkan dukungan dari dua orang tokoh yang sangat penting, yaitu Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah: Pertama: Masjid dan Surau, lembaga ini merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam masyarakat muslim. Pada dasarnya, masjid atau langgar mempunyai fungsi yang tidak terlepas dari kehidupan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan, masjid befungsi sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tufas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya, pendidikan di langgar atau di masjid, dalam arti yang sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal dan sekaligus lembaga pendidikan sosial. Kedua: Pondok Pesantren, memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan wetonan. Ketiga: Madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam mulai berkembang di dunia Islam sekitar abad ke-15 H atau ke-10 M. Ketika penduduk Naisabur mendirikan lembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut untuk pertama kalinya. Keempat: Majelis Taklim yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang bersifat nonformal, yang senantiasa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilan jemaahya, serta membeerantas kebodohan umat Islam agar memperoleh kehiduan yang bahagia dan sejahtera.
Akhir dari buku ini yaitu menjabarkan tentang tokoh-tokoh pendidikan perempuan Indonesia, yaitu: R.A Kartini (1879-1904 M), Raden Dwi Sartika (1884-1947 M), Rohana Kudus (1884-1969 M), dan Rahmah El Yunusiyah (lahir 1900 M).
R.A Kartini dilahirkan di Jepara, pada tanggal 21 April 1879. Ayahnya adalah seorang bupati Jepara yang bernama R.M Adipati Sosroningrat. Pada tahun 1902, kartini dinikahkan dengan R.M Djodjo Adiningrat, Bupati Rembang. Perjuangan R.A Kartini sebenarnya ialah ingin memperbaiki kedudukan dan derajat kaum perempuan. Selain dapat mengurus rumah tangganya, kaum perempuan juga dapat mengerjakan pekerjaan lain yang menunjang kelangsungan hidupnya dengan rasa aman, tentram, dan damai. Ia merasa bahwa perempuan Indonesia harus belajar karena perempuan terpelajar akan pandai mendidik anaknya yang berusaha untuk menyempurnakan dalam mengurus rumah tangganya. R.A Kartini tidak hanya mencoba melawan hukum adat, tetapi juga menentang penyebab utamanya, yakni adanya penjajah Belanda.
Raden Dewi sartika lahir di Bandung tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya bernama Raden Somanegara, Patih Bandung. Ibunya bernama Raja Permas. Cita-citanya tidak berbeda dengan R.A Kartini, yakni mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia dengan jalan memajukan pendidikannya, terutama kaum perempuan yang tidak diberi kesempatan untuk mengejar kemauan, terutama dalam bidang pendidikan.
Keadaan masyarakat perempuan Indonesia pada kehidupan Dewi Sartika tidak berbeda dengan kehidupan masyarakat Kartini. Dimulainya perjuangan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak perempuan yang masih tertinggal dalam alam kegelapan sudah menjadi tujuan hidupnya, untuk menyumbangkan tenaganya bagi kepentingan nusa dan bangsanya. Dalam merealisasikan cita-citanya, pada tahun 1904 didirikan nama sekolah dengan nama Sekolah Istri. Pada tahun 1912, sekolah ini tersebar di seluruh Pasundan. Angkatan pertama muridnya sebanyak 20 orang. Dalam tahun kedua, kelasnya bertambah dan muridnyapun bertambah banyak. Murid-muridnya tidak hanya anak-anak perempuan dari kota, tetapi juga dari kewadanaan dan kecamatan. Pelajaran yang diberi di sekolah ini ditambah dengan kerajinan perempuan.
Rohana Kudus dilahirkan di kota Gedang Sumatera pada tanggal 20 Desember 1884, ayahnya bernama Muhammad Rasyad Maharaja Sultan, juru tulis di sebuah kantor Alahan Panjang. Ia adalah perempuan yang sangat taat kepada agama dan giat mempelopori emansipasi teradap perempuan. Rohana memulai perjuangannya di bidang pendidikan dari Kartini. Ia pun berkeinginan untuk menerbitkan surat kabar perempuan sebagai pelita di masa gelap, kaum perempuan Indonesia. Kemudian, ia mengadakan perundingan dengan datuk Sultan Maharaja, pimpinan surat kabar Oetosan Melajoe. Pada tanggal 10 Juli 1912, terbit sura kabar perempuan di pajang bernama Soenting Melajue dan Rohana diangkat menjadi pimpinan redaksinya sampai mencapai kemajuan dalam waktu yang singkat.
Terakhir, Rahmah El-Yunusiyah yang lahir di Kota Padang pada tanggal 29 Desember 1900 m. Dalam silsilah keturunannya, ia mempunyai pertalian darah dengan seorang ulama besar di Minagkabau, Tuanku Nan Pualang di Rao, seorang alaim yang hidup di zaman Paderi dan peralihan di Minagkabau. Ibunya bernama Rafiah dan ayahnya Syekh Muhammad Yunus, seorang ulama dari ahli falak yang memangku jabatan qadhi di Negeri Pandai Sikat Padang Panjang.
Pikiran Rahmah diilhami oleh dasar fialsafah adat Minangkabau, yaitu dasar kekeluargaan dimulai di rumah tangga. Dalam menghadapi dua hal yang menurutnya berlainan yaitu antara kehendak adat yang memerlukan kata kiasan dan agama yang menuntut keterusterangan, Rahmah mengadakan semacam synthese, yakni dengan mendirikan sekolah khusus untuk perempuan, yang di dalamnya dibicarakan segela macam masalah agama.
Banyak tantangan yang dihadapi Rahmah pada waktu sekolah ini didirikan. Masyarakat yang masih berpegang teguh dengan tradisi lama selalu melancarkan kritik dan cemoohan terhadapnya. Kata-kata seperti “mana pula orang perempuan akan mengajar, akan jadi guru, mengepit-ngepit buku, membuang-buang waktu akhirnya akan ke dapur juga, lebih baik dari kni ke dapur” seiring dilontarkan kepadanya, tetapi berkat keyakinan yang mantap dan berpegang teguh kepada janji Allah dalam Al-Qur’an surat Muhammad ayat 7.
Hemat penulis, buku ini memiliki sebuah kelebihan yang mencolok yakni singkat, padat, dan jelas. Tetapi dibalik semua itu ada sesuatu yang masih kurang diteliti dalam sistematika penulisannya yakni numberring-nya tidak berurut, ada pengulangan sub-bahasan sehingga cendrung membingungkan, dan sering tidak menyebutkan tahun.

TRENDY ‘POLITICAL DIVORCE’

A. ARTICEL
        The trendy of political breakpus between heads of regional adimistration and their deputies before completion of their term is a very regrettable and disapointing fact for voters, who elect pairs of leaders in the hope that they will be prepared to serve the people for at least the five year as mandated by the existing law.
According to home ministry data, 93,5 percent of 244 pairs of regional heads acros the country split up before their tenure ended between 2010 and 2011 the latest case in point is Jakarta deputy Governor Prijanto, who submited his resignation letter to the ministry and the Jakarta city legislative council, seven month before the next city gubernatory election.
We, the general public, do not know exactly the reasons for their breapus, but from a member of cases disharmony between pairs of regional heads Governors, regents and Mayors and their Deputies, we may conclude that they were politically motivated.
In many cases, Deputies to regional heads, who are unhappy with their second rank position, challage their bosses as they think they on obtain the higher position for themselves.
In the cases Prijanto, despite his rebuttal, the fact is he submitted his resignation after he had expressed his readinese to contest the governatorial race.
Deputies should be aware from the very beginning of their positions as the number- two persons in office, therefore quitting before their term in office is complete is morally unacceptable.
They should not resigned simply due to disapointment with their bosses; they have after all been elected by the people in pairs and as a package.
Whatever the reasons, such political breakpus are not in the interest of the general public. The state spends a large amount of taxpayers’ money to organize elections if the elected officers cannot remain united, why should the state waste such huges sums of money?
It is, therefore, understandable that home minister Gunawan Fauzi has proposed that regional elections should only elect the regional heads, who should then appoint their deputies themselves.
Homever, such a mecanisme is not without risk as the general public, through regional legistures, could not demand accountability from the deputies as the latter would argue that they wens appointed by the regional heads and need only report to them and not to the public.
It is indeed the right of every regional heads and their deputy to resign from office, but personal disharmony and dislike should not be used as an excuse for a brekup. Only valid reasons, such us permanent disability or equally serious issues, are acceptable.
Also important are clear job discriptions outlining the duties of regional heads and their deputies so as to avoid overlapping responsibility.
Quite apart from all these tecnicalitiy it is important to know as much as possible about all contestant in regional elections.
They must not votes for candidats who are only interested in againing power and other privileges but who neglect their obligation to serve the public once elected as regional heads and deputies.
Elected leaders must serve the interests of the electorate who have cast their votes from them not vice verse.
B. TERJEMAH
Para trendi breakpus politik antara kepala daerah dan wakil adinistrasi mereka sebelum menyelesaikan istilah mereka adalah fakta yang sangat disesalkan dan tidak berguna bagi pemilih, yang memilih pasangan pemimpin dengan harapan bahwa mereka akan siap untuk melayani orang-orang untuk setidaknya lima tahun sebagaimana diamanatkan oleh hukum yang ada.
Menurut data kementerian dalam negeri, 93,5 persen dari 244 pasangan kepala daerah dalam negeri berpisah sebelum masa jabatan mereka berakhir antara tahun 2010 dan 2011 kasus terbaru dalam hal ini adalah wakil Gubernur Jakarta Prijanto, yang mengajukan surat pengunduran dirinya kepada pelayanan dan dewan legislatif kota Jakarta, tujuh bulan sebelum pemilihan gubernur kota berikutnya.
Kami, masyarakat umum, tidak tahu persis alasan breakpus mereka, tetapi dari anggota kasus ketidakharmonisan antara pasangan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota dan Deputi mereka, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka bermotif politik.
Dalam banyak kasus, Deputi untuk kepala daerah, yang tidak senang dengan posisi peringkat kedua mereka, melombai bos mereka saat mereka pikir mereka pada mendapatkan posisi yang lebih tinggi untuk diri mereka sendiri.
Dalam kasus Prijanto, meskipun sanggahan nya, faktanya adalah ia mengajukan pengunduran dirinya setelah ia menyatakan keanggupan untuk kontes perlombaan kegubernuran.
Deputi harus menyadari dari awal posisi mereka sebagai nomor dua orang di kantor, karena itu berhenti sebelum masa mereka di kantor selesai secara moral tidak dapat diterima.
Mereka seharusnya tidak mengundurkan diri hanya karena kesalahpahaman dengan bos mereka, mereka telah setelah semua telah dipilih oleh rakyat secara berpasangan dan sebagai sebuah paket.
Apapun alasannya, breakpus politik tersebut tidak dalam kepentingan masyarakat umum. Negara menghabiskan sejumlah besar uang pembayar pajak 'untuk menyelenggarakan pemilihan jika petugas terpilih tidak dapat tetap bersatu, mengapa negara seperti limbah dengan jumlah uang yang sangat banyak?.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Menteri dalam negeri Gunawan Fauzi telah mengusulkan bahwa pemilihan kepala daerah hanya harus memilih kepala daerah, yang kemudian harus menunjuk deputi mereka sendiri.
Dimanapun, seperti mekanisme adalah bukan tanpa risiko sebagai masyarakat umum, melalui legislatif daerah, tidak bisa menuntut akuntabilitas dari para deputi sebagai yang terakhir akan berpendapat bahwa mereka akan ditunjuk oleh kepala daerah dan hanya perlu melaporkan kepada mereka dan tidak untuk umum.
Memang setiap kepala daerah dan wakil mereka berhak untuk mengundurkan diri dari kantor, namun ketidakharmonisan pribadi dan tidak suka tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk suatu brekpus. Hanya alasan yang sah, cacat permanen atau masalah serius, dapat diterima.
Juga penting adalah diskripsi pekerjaan yang jelas dalam menguraikan tugas kepala daerah dan wakil-wakil mereka sehingga untuk menghindari tumpang tindih tanggung jawab.
Terlepas dari semua teknik ini penting untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang semua kontestan dalam pemilihan daerah.
Mereka harus tidak bersuara untuk candidat yang hanya tertarik pada kekuasaan dan orang yang mempunyai hak istimewa tetapi mereka yang mengabaikan kewajiban lainnya untuk melayani publik sebagai pilihan sebagai kepala daerah dan wakil.
Pemimpin terpilih harus melayani kepentingan pemilih yang telah memberikan suara mereka dari mereka bukan ayat wakil.
sumber: Jakarta Post

Minggu, 15 Januari 2012

SANTRI Vs KYAI DAN PESANTREN: ANTARA REALITA DAN HARAPAN

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berkarakter pribumi, sehingga pengembangan nilai Islam melalui institusi ini memiliki peluang besar untuk dapat diterima di masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pesantren berpijak pada paradigma dasar bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah. Melalui paradigma ini, pesantren memiliki pandangan bahwa perspektif Islam meliputi ibadah formal dan ibadah sosial dilihat dari perilaku yang membawa keuntungan bagi pelaku dan masyarakat luas. Sering dikatakan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional yang di dalamnya anak-anak muda dan dewasa belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut tentang ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari bahasa Arab, serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik karangan ulama-ulama besar. Disebut “tradisional”, karena lembaga ini hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya terkadang sulit untuk mengidentifikasi apakah betul, bahwa suatu pesantren itu masih dapat disebut tradisional sama sekali sekalipun sebagian nilai-nilai tradisional masih dipertahankan. Pondok pesantren yang biasanya disebut juga pesantren menyelenggarakan proses pendidikan yang sifat pendidikannya tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan. Oleh karena itu, pendidikan pesantren dikategorikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang termasuk salah satu bentuk dari jalur pendidikan luar sekolah. Namun jika dipelajari dari segi kelembagaan, maka pesantren adalah sebuah sistem lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen pendidikan. Di antara elemen-elemen lembaga pendidikan pesantren adalah kyai sebagai pendidik, santri sebagai pesarta didik, mushalla atau masjid sebagai sarana pendidikan, isi kitab kuning sebagai materi pendidikan dan beberapa pondok atau kamar sebagai tempat tinggal para santri. Bahkan untuk saat sekarang pesantren telah mengadopsi sistem klasikan sehingga menyamai sistem sekolah. Oleh karena itu, isu pendidikan miltikultural menjadi suatu usulan yang perlu dipertimbangkan bagi pendidikan pesantren. Bangsa Indonesia, secara kultural memiliki ragam budaya, etnik dan keyakinan yang berbeda-beda. Sehingga ada orang yang mengatakan memang kita berbeda. Pertanyaannya, mengapa kita berbeda? Ini pertanyaan sederhana yang tentu saja tidak sulit untuk dijawab. Setiap manusia mempunyai banyak identias, baik yang berkaitan dengan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan sebagainya. Identitas-identitas tersebut sebagian merupakan sesuatu yang given (pemberian) dan sebagian yang lain merupakan konstruk sosiologis. Dalam kehidupan sosial, relasi antar identitas tersebut seringkali berada dalam ketegangan, kompetesi, bahkan tidak jarang ingin saling menafikan. Harus diakui, masyarakat kita masih sulit menerima perbedaan sebagai realitas yang harus diterima apa adanya. Kalaupun diterima, keragamaan itu lebih dipandang sebagai hal yang negatif daripada positif. Oleh karena itu, penghargaan terhadap multikulturalisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai agama, ras, suku, dan sebagainya, yang usteru lebih mengesankan adanya fragmentasi. Multikulturalisme harus dipahami sebagai pertalian sejati dari berbagai macam keragamaan dalam ikatan-ikatan yang rasional yang berperadaban. Bahkan, multikulturalisme harus dipandang sebagai keniscayaan untuk keselamatan umat manusia dengan mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan. Dengan demikian, multikulturalisme sebagai realitas sosial merpakan sunnatullah sebagai given yang tidak mungkin ditolak oleh siapapun. Menolak kenyataan multikultural sama artinya menolak sunnatullah, maka multikultural memang sengaja didesain Tuhan untuk dinamika kehidupan manusia, atau dalam bahasa agama lita’arafuu (untuk saling mengenal). Akar kata multikulturaslisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pendidikan multukultural berkaitan dengan isu-isu politik, sosial, kultural, edukasional, dan agama. Ada empat nilai atau core values dari pendidikan multikultural, yaitu apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat, pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia, pengembangan tangung jawab masyarakat dunia, dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi. Pendidikan multikultural diartikan sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultural, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, dan ekonomi. Secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membeda-bedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama. Pendidikan multikultural, dalam perspektif Islam, tidak dapat dilepaskan dengan konsep pluralis, sehingga muncul istilah Pendidikan Islam Pluralis-Multikultural. Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam pluralis-multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. Dari praktik-praktik pendidikan multikultural dalam pesantren dapat diidentifikasi model pengembangan pendidikan multikultural di pesantren yang bisa dijadikan sebagai pijakan dalam pengembangan pendidikan multikultur di pesantren-pesantren lain. Model pengembangan pendidikan multikultural tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pengembangan pendidikan multikultural di pesantren sangat dipengaruhi oleh ide dan wawasan kiai pengasuhnya; 2) Pendidikan multikultural di pesantren tidak diajarkan secara khusus melalui mata pelajaran tertentu, tetapi melalui berbagai situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk diberikannya nilai-nilai multikultural kepada para santri. Islam harus diajarkan secara damai tanpa kekerasan; 3) Pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan Islam kepada para santri adalah pendekatan inklusif. Islam diajarkan dengan semangat rahmatan lil’alamin, bukan Islam yang eksklusif dan radikal; 4) Islam yang diajarkan di pesantren adalah Islam yang kaffah yang tidak anti budaya dan tradisi lokal di sekitar pesantren; 5) Model dakwah yang diberlakukan di pesantren salaf mengikuti model dakwah Rasulullah dan para Walisongo yang lembut dan mengapresiasi budaya lokal. Kiai pengasuh pesantren tidak hanya menjadi pemimpin di pesantrennya, tetapi juga menjadi pemimpin masyarakat di sekitar pesantren; 6) Pendidikan multikultur menjunjung tinggi keadilan, termasuk dalam masalah gender; dan 7) Pendidikan multikultural mengajarkan perbedaan dan keberagaman serta toleransi. Pesantren mengajarkan kepada para santri berbagai pendapat (mazhab) yang berbeda-beda dan mereka harus menghormati perbedaan dan keberagaman tersebut, termasuk dalam perbedaan agama atau keyakinan. Santri yang sejak awal disiapkan sebagai kader ulama’ memang memiliki kelebihan dibanding dengan siswa pada institusi-institusi pendidikan lain. Dalam pembelajarannya mereka juga diperkenalkan dengan konsep atau wacana hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman), itu terbukti ketika Belanda tiba di Jawa pada abad 18, yang pada awalnya mereka tidak turut campur dengan sistem pendidikan Islam di kalangan penduduk bumiputera. Agaknya kolonial baru ini mengizinkan sistem tersebut terus berjalan sebagaimana ia dibangun oleh dan selama kekuasaan Mataram. Namun, setahap demi setahap tekanan dan serangan mereka pada akhirnya tidak dapat dibendung, terlebih lagi setelah ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1775. Belanda berupaya keras untuk menekan pengaruh muslim di Jawa, dengan menggunakan kekuatan mereka di luar Yogyakarta dan Surakarta. Suasana dan aturan politik yang diciptakan oleh Belanda, benar-benar telah menghambat perkembangan institusi-institusi muslim, khususnya pesantren-pesantren. Tampaknya Belanda tidak berbeda jauh dengan Inggris yang menguasai Jawa sejak 1811 hingga 1816. kecurigaan pemerintah kolonial terhadap kaum muslim tampak semakin tajam sebagaimana diindikasikan oleh gubernur Hindia Timur, Sir Thomas Stamford Rafles. Dia menganggap para pemimpin muslim, khususnya para haji, sebagai musuh terbesar bagi setiap pemerintah kolonial. Pendek kata, hal ini memberi kesan bahwa kedua pemerintah kolonial tersebut tidak mendukung kemajuan kehidupan sosioreligius orang Jawa, dan tidak memberikan kebebasan kepada mereka untuk melaksanakan praktik-praktik keagamaan sebagaimana yang telah diberikan oleh kesultanan Mataram. Jawa pada abad-18 ditandai oleh campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam kehidupan masyarakat Jawa di satu sisi, dan munculnya identitas dan kehormatan diri diantara masyarakat Jawa di sisi lain. Patut dicatat bahwa semakin banyak tekanan dan operasi yang dilakukan oleh kaum kolonial, maka semakin positif respons kaum muslim terutama para santri dengan memandang agama mereka sebagai penggerak utama dalam upaya membebaskan diri mereka dari penindasan tersebut. Prinsip-prinsip kaum muslim Jawa untuk tetap bangkit dan melawan janji-janji kolonial membawa kepada periode sultan Agung, seorang figur yang tidak disangkal oleh komunitas sendiri. Pada 1614, tahun kedua dari pemerintahan Agung, Belanda mengirim seorang utusan untuk menyampaikan ucapan selamat atas penobatannya. Belanda sangat terkejut, dengan penuh keberanian beliau memperingatkan utusan itu bahwa persahabatan yang mereka inginkan adalah mustahil jika VOC coba menaklukkan tanah Jawa. Dalam kenyataannya, hingga akhir masa pemerintahan sultan Agung, peperangan melawan Belanda tidak pernah berhenti. Idiologi penolakannya didorong agama, sebagaimana terlihat selama perjuangannya melawan dominasi asing, dia didukung oleh 7000 mujahidin (pejuang) muslim. Sebagaimana dilaporkan bahwa mereka memiliki kekebalan karena mereka dilatih secara spiritual maupun fisik oleh ulama militan di daerah pedalaman sebelum mereka berangkat ke medan perang. Situasi yang sama terjadi pada permulaan dan akhir abad-19. Diponegoro (1785-1855) merupakan salah satu simbol lain dari kaum mujahidin Jawa atas perjuangannya melawan kolonial Belanda dalam perang Diponegoro (1825-1830). Dia memperoleh dukungan yang luar biasa dari ulama Jawa beserta para santrinya. Hubungan tersebut wajar karena Diponegoro sendiri sebelumnya juga memiliki kesempatan memperoleh pendidikan pesantren. Sikap anti kolonial Diponegoro didasarkan pada panggilan agama, sebagaimana musuh menyadari akan jiwa agama seperti itu. Pada tahun 1827, menteri kolonial Belanda, C. Th. Elout (1767-1841), memberi gambaran menarik tentang perhatian raja Belanda terhadap kenyataan bahwa pengaruh agama telah memainkan peranan krusial terhadap jalannya perlawanan. Hampir di setiap peperangan kelompok ulama, dengan menggunakan pakaian has mereka berupa jubah dan sorban, telah ikut ambil bagian, dan seruan mereka berhasil mengbarkan semangat pasukan Diponegoro lainnya. Pada bagian lain di Jawa, yaitu Jawa barat, terjadi pula perlawanan yang serupa. Pemberontakan sengit terjadi di Cilegon, Banten kota kelahiran Nawawi Al-Bantani, guru pesantren yang paling terkenal, pada bulan Juli 1888, yang terikat erat dengan gerakan kaum sufi, karena kebanyakan mereka yang terlibat dalam pemberontakan adalah para haji dan kyai. Lebih dari itu, sebagian pengikut tarekat Qodiriyah dan Naqsabandiyah ikut melakukan perelawanan terhadapa Belanda dalam pertempuran besar tersebut. Kerjasama dan solidaritas komunitas santri dalam “Perang Suci” ini bisa dijelaskan dengan memperhatikan peran mutlak kyai khususnya pada masa kritis dan loyalitas para santri yang tidak tergoyahkan kepada para gurunya sebagai bagian ketaatan mereka terhadapa agama. Para kyai memiliki otoritas untuk memeberikan fatwa bahwa memeprtahankan tanah air adalah kewajiban bagi setiap mukmin. Lebih dari itu, mengusir penjajah diidentikan dengan menolak bahaya, sebuah konsep hukum yang berkembang luas di kalangan santri. Landasan ideologi ini telah sedemikian familiar di kalangan masyarakat muslim Jawa, yang mayoritas mereka adalahh penganut madzhab Syafi’ie. Beberapa karya yang ditulis ulama Syafi’i terkemuka, seperti Al-Ghazali dan Al-Bajuri (seorang ahli hukum muslim abad-18), dan digunakan secara luas oleh santri dan ulama Jawa, membenarkan bahwa amar ma’ruf merupakan fardu kifayah dan dipandang sama pentingnya dengan jihad, berjuang, atau bertempur sebagai kewajiban agama. Oleh karena itu, sebagian muslim menolak untuk mematuhi para penguasa non muslim, dan tampaknya tak seorangpun mengingkari prinsip jihad ketika dipandang perlu dan ketika pemimpin kharismatik memfatwakan. Seluruh uraian di atas menunjukan bahwa terdapat hubungan dekat antara agama, pendidikan, dan kehidupan yang mengancam situasi damai. Dalam kenyataannya, terdapat sebab akibat di antara unsur-unsur ini. Hal ini sangat mungkin, karena unsur-unsur tersebut tidak pernah dapat dipisahkan dan secara konseptual dipandang sebagai sebuah insitas dalam Islam. Agama yang menbganjurkan totalitas keberagaman individu. Patut dicatat bahwa para kyai bukan saja kelompok yang berkewajiban merespon tantangan-tangan kaum kolonial. Ahmad chotib Minangkabau (1852-1915), insipirator dan guru kaum modernis muslim Indonesia tidak sepaham dengan Snouck Horgronje ketika berada si Mekkah pada tahun 1885. Chotib, seorang mufti As-Syafi’i di kota Mekkah asal Sumatera, Indonesia, tidak suka terhadap sarjana Belanda ini, yang berarti dia secara keagamaan juga anti Belanda. Namun, kebenciaannya agaknya ditunjukan secara samar dalam ungkapan tidak langsung dengan menggunakan elemen dan simbol keagamaan ketimbang dengan jargon politik yang sebenarnya. Sebagaimana ditunjukan dalam pernyataan-pernyataan di atas, pemerintah kolonial terus melakukan pembatasan-pembatasan di seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Hanya para ulama yang independen di daerah pedalaman sajalah yang tetap menjadi pengausa yang sesungguhnya di daerah mereka sendiri. Namun para ulama ini tetap menyadari kekuatan kolonial yang sebaliknya bisa membahayakan institusi mereka. Pemerintah kolonial cenderung menaruh kecurigaan terhadap institusi pendidikan dan keagamaan pribumi yang digunakan untuk melatih “para pejuang militan” guna melawan mereka. Sejalan dengan hal ini, watak pesantren itu memberikan kontribusi terhadap kemandirian dan ketahanan akan dominasinya dalam melawan serangan-serangan dari luar. Pesanren-pesantren pada priode yang dibahas di sini, dapat dipandang sebagai sebuah sistem pendidikan yang unik, dan bisa juga dilihat sebagai sebuah komunitas otonom di bawah para kiai kharismatik, yaitu suatu bagian dari populasi Jawa yang mempertahankan identitas keIslamannya secara sungguh-sungguh. Dengan kata lain, pandangan hidup mereka sebagai muslim cukup jelas dengan pendirian yang berorientasi Mekkah lebih tampak pada asal usul sendiri yang dituduh (dianggap) sinkretik. Pernyataan yang biasa ini pada umunya didasarkan pada asumsi bahwa orang Jawa tinggal jauh dari pusat Islam di Timur Tengah; versi Islam mereka bercampur dengan animistik lokal yang besar sekali. Peran pesantren terhadap pendidikan perilaku bagi santri penuh tantangan, karena harus meng-cover ketiga aspek eksternal pendidikan bagi anak, dengan kata lain pesantren harus menggantikan peran keluarga, guru di sekolah dan harus menciptakan masyarakat yang sehat. Problem pesantren saat ini hendaknya menarik keinginan dari akademisi dari PTAI, untuk mengambil peran penyelamatan pesantren. Kegiatan penanganan pesantren cukup menjanjikan sebagai lahan untuk pelaksanaan tridarma perguruan tinggi, terutama pengabdian masyarakat. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah perguruan tinggi. Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat merupakan wujud kepedulian perguruan tinggi sebagai lembaga yang menghasilkan individu intelektual untuk senantiasa berpartisipasi dalam pengembangan kualitas masyarakat. Dan pada akhirnya, memang santri, pesantren, dan kyai adalah tiga unsur yang tidak dapat terpisahkan yang dalam perjalanan sejarah memang memegang peranan penting, baik dalam penyebaran Islam, mempertahankan kebudayaan, pemersatu umat dalam bingkai multikultural, mengusir penjajah ataupun dalam segi keilmuan yakni mengajarkan pelajaran tradisional yang berupa kitab kuning.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinesen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1995.
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur Dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994.
Mas’ud, Abdurrahman. Dari Haramain Ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana, 2006.
Naim, Ngainun dan Sauqi, Achmad. Pendidikan Multikultural: Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Raffles, Stanford. The History Of Java II. London: t.p, 1817.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan Dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Yunus, Muhammad. Sejarah Pendidkan Islam Indonesia. Jakarta: t.p, 1983.

KERAJAAN ISLAM KOTAWARINGIN KALIMANTAN TENGAH

A. Pendahuluan Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan diantara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin. Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah satu daerah di Negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Sebelum diperintah langsung oleh Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin menjadi wilayah Kerajaan Tanjungpura yang diperintah oleh orang Melayu. Tanjungpura menguasai wilayah dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau). Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan. Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. Jadi pada mulanya wilayah Kerajaan Kotawaringin meliputi wilayah paling barat Provinsi Kalimantan Tengah kemudian termasuk pula desa-desa di sebelah barat negeri Banjar yaitu wilayah Provinsi Kalimantan Tengah saat ini kecuali Tanah Dusun (Barito Hulu). Bahkan Kotawaringin sempat menguasai sebagian Kalimantan Barat dengan menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh, serta juga menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. B. Sejarah berdirinya kerajaan Islam Kotawaringin Sejarah Kotawaringin Barat dimulai dengan masuknya pengaruh kerajaan Hindu Majapahit di tahun 1365 dengan mengangkat kepala-kepala suku menjadi menteri kerajaan. Ini dibuktikan dengan disebutnya daerah Kotawaringin dalam pupuh XIII buku nagara kertagama karya Mpu Prapanca. Nama Kotawaringin berasal dari nama pohon beringin yang banyak tumbuh di daerah ini, dengan akarnya yang panjang dan dedaunan yang lebat. Soal nama ini dipertegas oleh peninggalan-peninggalan yang ditemukan, misalnya sepasang meriam di dekat istana kraton kerajaan Kotawaringin di Pangkalan Bun, nama kerajaan ini adalah Kota Ringin. Untuk memudahkan analisa sejarah kami tetap menggunakan nama Kotawaringin seperti nama kabupaten yang sekarang. Tentang tahun berdirinya kerajaan Kotawaringin terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa kerajaan ini baru dibangun oleh Pangeran adipati Anta Kesuma, putra raja Banjar Sultan Musta’inubillah (1650-1678), yang pergi kearah Barat 1679. Kerajaan Islam Kotawaringin ini meliputi Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Daerah lain di sekitarnya masih dibawah pimpinan kepala-kepala suku Dayak. Pendapat ini banyak didasari oleh tulisan Sanusi dan Lontaan yang tidak mencantumkan angka tahun pemerintahan raja-raja Kotawaringin dengan jelas. Sedang buku yang lebih baru Memori Hari Pahlawan ke 43 10 November 1988 di Pangkalan Bun angka tahunnya bercampur antara tahun masehi dan tahun Hijriah, dan keduanya tidak sesuai. Misalnya saja masa pemerintahan Sultan I disebutkan 1680 – 1687 M. Sedang sultan II disebut 920 – 941 H, bukankah 920 H itu adalah tahun 1499 M? Jadi sebelum Sultan I. Pendapat kedua, yang bersumber dari catatan yang ada di astana Alnursari di Kotawaringin Lama, mengatakan bahwa kerajaan ini di bangun tahun 1615. Terlepas dari perbedaan angka tahun ini, di tengah masyarakat ada cerita legenda akan nama-nama tempat di Kalimantan Tengah sebagai penamaan yang berasal dari pangeran Adipati Anta kesuma. Misalnya:nama Sampit, muncul karena pada waktu sang Pangeran menelusuri sungai mentaya tiba-tiba menemui tempat yang sempit sehingga diberi nama Sampit. Karena tempat yang sempit ini membuat perasaan tidak enak (disebut Sanusi sebagai perasaan mereka menjadi sempit), rombongan pangeran ini berbalik ke laut lagi. Setelah menelurusi pantai mereka menemukan lagi sebuah perkampungan di muara sebuah sungai yang membentuk teluk. Pangeran dan rombongan ingin bergabung dengan penduduk perkampungan ini. Sayang mereka ditolak dan meneruskan perjalanan dengan perahu ke hulu dengan menelusuri sungai Seruyan. Karena merasa di tolak atau dibuang itulah tempat ini diberi nama pembuang. Setelah sampai di desa Rantau Pulut, keadaan sungai menjadi semakin sempit dan dangkal sehingga tidak mungkin di lewati perahu. Rombongan memutuskan jalan darat. melewati desa Sambi menyeberangi anak sungai Arut sampai di desa Pandau dan bertemu dengan suku Dayak Arut yang dipimpin Patih Patinggi Diumpang. Kedua kelompok kemudian mengadakan permufakatan untuk menjalin hubungan yang baik. Menurut legenda, dalam permufakatan tadi dilakukan upacara yang meminta tumbal masing-masing kelompok satu orang untuk di bunuh dan di atas kuburan dua orang tumbal ini diletakkan sebuah batu peringatan yang disebut Ratu Petahan. Selanjutnya Pangeran Adipati Antakesuma menganugerahi pusakanya untuk suku Dayak Arut berupa Serompang Bakurung, Batung Batulis, Waluh Banjar dan Sangkuh Canggah.Pangeran Adipati Antakesuma beserta pengikutnva beristirahat beberapa hari, sesudah itu dengan diantar Patih Patinggi Diumpang mereka menghiliri sungai Arut. Setelah sampai di pertemuan sungai Arut dan sungai Lamandau, mereka belok ke kanan dan memudiki sungai Lamandau. Disatu tempat mereka mendarat dan mendirikan keraton yang dinamai Kutaringin yang kemudian diucapkan sebagai Kotawaringin. Keraton kerajaan Islam Kotawaringin ini terletak di tepi sungai Lamandau ini dibangun dengan konstruksi kayu semuanya. Karena kondisi tanah yang lembab serta kayu yang semakin lama semakin lapuk, tidak dapat ditemukan situs-situsnya. Pangeran Adipati Anta kesuma sebagai Sultan pertama membangun istana yang diberi nama Dalem Luhur atau Istana Luhur. Di dalam membangun istana dan kerajaan Kotawaringin ini sultan dibantu oleh seorang alim ulama yang bernama Kyai Gede. Kyai Gede adalah seorang Muslim yang menurut ceritanya, berbarengan dengan pembangunan Kotawaringin terjadilah satu kehebohan di hulu sungai Lamandau dengan diketemukannya sesosok tubuh hanyut sekarat terikat pada sebatang pisang. Tubuh tadi ditemukan oleh para wanita yang menimba air dinihari. Mereka memberitahukan kepada kepala sukunya, suku Dayak Lamandau. Kepala suku dengan pahlawan pahlawan perangnya segera menuju tempat dimana sesosok tubuh hanyut sekarat itu. Tatkala diteliti untuk diketahui identitasnya, tubuh yang sekarat tadi kelihatan menyeramkan dan nenakutkan. Sekali menengoknya, seram menakutkan rupanya. Ham¬pir saja kepala suku melayangkan mandaunya keleher orang hanyut itu. Untunglah ia masih sempat mengeluh minta tolong, mohon diselamatkan, walaupun dalam suasana yang hampir mati. Kepala suku tidak jadi membunuh malah bersama rakyatnya mengusung orang tadi ke rumah. Setelah dirawat dan orang tadi siuman kepala suku memberinya seorang pembantu. Sejak saat itulah terjadi persahatan antara kepala suku dan orang yang baru ditemukan tadi yang ternyata Kyai dari Jawa. Kiai ini memanggil suku Dayak Lamandau mamak dan Daya Lamandau menjulukinya naga/niaga. Ia diberi ruang bergerak yang bebas dalam kam¬pung suku Dayak. Karena ia seorang beragama Islam, mengerti tata tertib dan sopan santun, maka ia menjadi perhatian suku Dayak. Rakyat sangat tertarik dengan tutur kata yang menyegarkan rasa. Karena kepribadiannya yang baik itulah rakyat menamainya Kyai Gede. Kerajaan Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dengan mengalami satu kali perpindahan dari Kotawaringin Lama ke Sukabumi yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah, adalah sultan Kotawaringin ke I dengan gelar Ratu Bagawan Kotawaringin. Memerintah dari tahun 1615 - 1630 M dengan Mangkubumi Kyai Gede. Pada hari tuanya Sultan pulang ke Bandarmasih (sekarang Banjarmasin, ibukota propinsi Kalimantan Selatan). Beliau wafat disana dan dimakamkan di desa Kuin Utara. Perihal wafatnya pangeran Adipati Antakesuma ini tidak ada catatan yang pasti. Selain wafat karena usia yang tua seperti dituturkan diatas, ada pendapat bahwa sebenarnya sang Pangeran pergi ke Banjarmasin atas panggilan Kakaknya sang sultan Banjar untuk membantu peprangan melawan kerajaan Pasir. Pangeran Adipati Antakesuma gugur di dalam peperangan ini. C. Raja-Raja Yang Memerintah Raja-raja/sultan yang pernah memerintah sejak 1679 hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut: a) Pangeran Adipati Antakusuma ( 1680- 1687) b) Pangeran Mas Adipati c) Pangeran Panembahan Anom d) Pangeran Prabu e) Pangeran Adipati Moda f) Pangeran Penghulu. g) Pangeran Ratu Bengawan h) Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha i) Pangeran Imanudin j) Pangeran Akhmad Hermansyah ( 1850- 1865) k) Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha ( 1865- 1904) l) Pangeran Ratu Sukma Negara ( 1905- 1913), m) Pangeran Ratu Sukma Alamsyah ( 1914- 1939) n) Pangeran Ratu Anom Alamsyah ( 1940- 1948). D. Cara Penggantian Raja-Raja Dan Pencapaiannya Di masa pemerintahan sultan pertama inilah disusun undang-undang kerajaan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntara. Selain membangun Istana Luhur sebagai keraton kerajaan Kotawaringin, Sang pangeran juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (panglima perang) Gadong Asam. Selain itu untuk keperluan perang dibangun pula Pa'agungan, sebagai tempat menyimpan senjata atau pusaka, membangun surau untuk keperluan ibadat, dan membangun sebuah paseban sebagai tempat para bawahan dan rakyat menghadap sultan. Setelah wafat Pangeran Adipati Anta kesuma digantikan oleh putranya Pangeran Mas Dipati sebagai sultan Kotawaringin ke II dengan mangkubumi Kyai Gede dan kemudian diganti oleh dipati Ganding. Memerintah dari tahun 1630 - 1655 M. Pada saat wafat sultan kedua ini dimakamkan di Kotawaringin. Sebagai pengganti, diangkatlah Pangeran Panembahan Anum bin Fangeran Mas Dipati, sebagai raja Kotawaringin ke III dengan mangkubumi Dipati Ganding. Memerintah dari tahun 1655 - 1682 M, berputera dua orang laki-laki dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin Dengan wafatnya pangeran Panembahan Anum, diangkatlah putranya Pangeran Prabu sebagai sultan Kotawaringin ke 1V dengan mangkubumi Pangeran Dira. Pangeran Prabu memerintah dari tahun 1682 sampai dengan tahun 1699 M, berputera tiga orang dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin. Pangeran Dipati Tuha bin Pangeran Prabu, diangkat sebagai raja Kotawaringin ke V dengan Mangkubumi pangeran Cakra. Sultan ke lima ini memerintah dari tahun 1699 sampai dengan tahun 1711 M, berputera tiga orang. Seperti para pendahulunya, setelah wafat sultan dikuburkan di Kotawaringin. Sebagai pengganti sultan ke V diangkatlah putranya Pangeran Penghulu bin Pangeran Dipati Tuha sebagai raja Kotawaringin ke VI dengan Mangkubumi Pangeran Anum. Memerintah dari tahun 1711-1727 M, berputera tujuh orang dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin. Pangeran Ratu Bagawan bin Pangeran Penghulu diangkat sebagai raja Kotawaringin ke VII dengan Mangkuhuai Pangeran Paku Negara. Memerintah dari tahun 1727 - 1761 M, berputera tujuh orang . Setelah wafat dimakamkan di Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan pembangunan mesjid Jami Kotawaringin, karena surau yang dibangun masa Pangeran Adipati Antakesuma sudah rusak. Pada pemerintahan Ratu Begawan sultan ke VII kerajaan Kotawaringin mengalami jaman keemasan. Pada masa ini pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di ekspor keluar daerah. Perdagangan hasil-hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran regional. Karena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin. Sistem organisasi pemerintahanpun telah maju dengan membagi tugas kepada para menteri berdasarkan wilayahnya. Dalam pembagian ini setiap kota dikepalai oleh seorang menteri seperti misalnya menteri Kumai, menteri Pangkalan Bu’un, menteri Jelai, dan seterusnya. Ironisnya, pada jaman keemasan itu, juga terjadi peristiwa yang menyedihkan yakni diserahkannya kerajaan Kotawaringin kepada pihak belanda oleh kerajaan Banjar. Pada saat itulah pertanggung jawaban pemerintahan harus dilakukan kepada kontrolir Belanda di Sampit. Walaupun demikian Belanda tetap tidak mengangkat seorang kontrolir langsung di Kotawaringin. Pangeran Ratu begawan yang wafat tahun 1761, digantikan oleh putranya Pangeran Ratu Anum Kesumayuda (Gusti Musaddam bin Pangeran Ratu Bagawan) sebagai raja Kotawaringin ke VIII dengan Mangkubuai Pangeran Tapa Sana. Memerintah dari tahun 1767-1805 M; berputera 16 orang. Setelah wafat dimakamkan di Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan pembangunan pesantren di danau Gatal Kanan dan danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang), tempat mendidik putera-puteri kerajaan. Perlu dicatat disini sebagai bagian dari kerajaan Banjar, sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar pangeran. Ini menunjukkan kesantunan terhadap kerajaan Banjar yang lebih tua yang mana gelar rajanya sultan. Memang kemudian didalam lingkungan Kotawaringin para pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan, tetapi itu hanya untuk lingkungan di Kotawaringin, jika mereka ke Banjar, mereka disebut dengan gelar Pangeran. E. Kesimpulan Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan diantara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan. Adapun Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Islam Kotawaringin adalah: Pangeran Adipati Antakusuma ( 1680- 1687), Pangeran Mas Adipati, Pangeran Panembahan Anom, Pangeran Prabu, Pangeran Adipati Moda, Pangeran Penghulu, Pangeran Ratu Bengawan, Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha, Pangeran Imanudin, Pangeran Akhmad Hermansyah ( 1850- 1865), Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha ( 1865- 1904), Pangeran Ratu Sukma Negara ( 1905- 1913), Pangeran Ratu Sukma Alamsyah ( 1914- 1939), Pangeran Ratu Anom Alamsyah ( 1940- 1948). Pada pemerintahan Ratu Begawan sultan ke VII kerajaan Kotawaringin mengalami jaman keemasan. Pada masa ini pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di ekspor keluar daerah. Perdagangan hasil-hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran regional. Karena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin. Sistem organisasi pemerintahanpun telah maju dengan membagi tugas kepada para menteri berdasarkan wilayahnya. Dalam pembagian ini setiap kota dikepalai oleh seorang menteri seperti misalnya menteri Kumai, menteri Pangkalan Bu’un, menteri Jelai, dan seterusnya. DAFTAR PUSTAKA http://irfan46.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_49.pdf Riwut, Tjilik. Kalimantan Membangun, Alam, Dan Kebudayaan. Yogyakarta: MR Publishing, 2007.

Sejarah Pamekasan

Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Nama Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke 16, ketika Ronggo Sukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari kraton Labangan Daja ke kraton Mandilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehinga terjadi perubahan nama wilayah ini.
Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya. Munculnya sejarah Pemerintah Lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke lima belas (15) berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sumoyo yang mulai merintis Pemerintahan Lokal di daerah Proppo atau Parupuk Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura dan Sumenep, yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.
Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa Kabupaten ini lahir pada zaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak biasa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri dalam penataan untuk mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya sangat padat kegiatan dengan luas wilayah yang sangat besar.
Saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra, sedangkan kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis. Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-Islam.
Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan bahasa Belanda kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal Fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun-daun lontar atau layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas.
Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggo Sukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di Wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan se jimat, yaitu jalan-jalan di alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.
Bahkan zaman Pemerintahan Ronggo Sukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda Kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggo Sukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Arosbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan hari jadi kota Pamekasan.
Terungkapnya sejarah Pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invasi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal di bawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh sarjana Barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigland tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Banda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit.

Sabtu, 07 Mei 2011

SEJARAH SUNAN BUNGKUL

SEJARAH SUNAN BUNGKUL

Saat berada di kota Surabaya, tidak lengkap rasanya jika belum berkunjung ke Taman Bungkul di Jl Raya Darmo, sekaligus berziarah ke Makam Mbah Bungkul. Pada bulan Ramadan, banyak orang dengan berbagai keyakinan mendatangi tempat ini. Lelaki, perempuan, tua dan muda umumnya meyakini Mbah Bungkul adalah sosok kharismatik yang membantu perjuangan Raden Rahmat menyebarkan Islam di Jawa Timur khususnya.
Tidak sulit menemukan petilasan Mbah Bungkul. Setelah berada di kawasan Wonokromo atau yang dikenal dengan Kebun Binatang Surabaya (KBS), jika datang dari selatan Surabaya, bisa berjalan ke utara menuju Jl Raya Darmo pasti akan mendapati Taman Bungkul. Atau, jika dari utara dan telah berada di Dermaga Ujung, Tanjung Perak, bisa melanjutkan ke tengah kota dan menuju Jl Raya Darmo. Dan, jika masuk dari arah barat atau Gresik, juga langsung saja mencari arah ke Jl Raya Darmo yang berada di tengah kota Surabaya. Sesampai di lokasi ini, umumnya pengunjung melakukan sholat di surau kecil yang dulu dibangun Mbah Bungkul bersama Raden Rahmat. Kemudian, bisa dilanjutkan berziarah di makam Mbah Bungkul dan sejumlah pengikutnya yang terhampar di satu lokasi berdekatan. Usai berziarah, pengunjung bisa menikmati satu lagi keajaiban yang hingga saat ini masih terjaga, yakni menikmati air sumur buatan Mbah Bungkul dan Raden Rahmat untuk diminum.
Tetapi siapakah sebenarnya Mbah Bungkul itu? Ada catatan mengisahkan, tempat ini, 700 tahun silam sebelum bernama Surabaya, dikenal dengan sebutan ”Pertapaan Mbah Bungkul”. menurut sumber yang didapat oleh penulis dari juru kunci makam mbah bungkul kapan dan dimana mbah bungkul dilahirkan tidak dapat diketahui dengan pasti, beliau hanya saja menyebutkan bahwa sebelum sunan ampel datang mbah bungkul sudah berada di Surabaya.
Konon, Raden Rahmat atau Rahmatullah (kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel) diyakini pernah singgah di tempat ini setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dengan naik perahu dari Trowulan, Majapahit (sekarang Mojokerto, Jatim). Raden Rahmat singgah di tempat ini saat tengah menyusuri Kalimas sebelum menuju ke kawasan Ampel Denta (kawasan Surabaya Utara). Dalam catatan ahli sejarah Belanda bernama GH Von Faber, di sebuah bukunya berjudul Oud Soerabaia ditulis, Bungkul, saat jaman kolonial sengaja tidak dikenalkan jati diri sebenarnya.
Entah apa maksudnya, yang jelas dalam buku itu tertulis, orang akan diganjar hukuman dan akan celaka atau (kualat=bahasa Jawa), jika mencoba menelisik siapa sebenarnya Mbah Bungkul. Ageng dari Kerajaan Majapahit. Bagaimana hubungannya dengan Raden Rahmat. Ada yang menyebut sosoknya sebagai lelaki keturunan Ki Gede atau Ki Mbah atau Sunan Bungkul ini merupakan guru sekaligus tokoh spiritualnya Raden Rahmat sebelum menjadi Sunan Ampel.
Ada yang menyebut, Bungkul sebagai Ki Ageng Supo. Ada juga yang mengatakan Mpu Supo, sebutan orang tersohor yang memiliki kelebihan di zamannya. Setelah memeluk Islam, berganti sebutan menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Karena lama berada di kawasan Bungkul, ia kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bungkul. Sebutan itu melekat saat pertemuannya dengan Raden Rahmat. Dari cerita beberapa sumber, Rahmat kemudian lama ikut ngawulo atau menetap di kawasan Bungkul yang saat itu masih be Ada yang menyebut sosoknya sebagai lelaki keturunan Ki Gede atau Ki Mbah atau Sunan Bungkul ini merupakan guru sekaligus tokoh spiritualnya Raden Rahmat sebelum menjadi Sunan Ampel rupa hutan belantara.
Ada juga yang meyakini, Bungkul adalah orang terkenal di akhir kebesaran Kerajaan Majapahit di abad XV. kenapa orang ini meninggalkan kerajaan dan mengembara hingga ke daerah yang kemudian bernama Surabaya ini. Dipastikan, perjuangannya ikut membantu Raden Rahmat dalam syiar Islam di tanah Jawa membuat nama Bungkul semakin santer.
Tidak ada yang tahu atau literatur yang menyebut Awalnya Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam, berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481. Supa mempunyai puteri Dewi Wardah. Sahibul hikayat, Supa ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum mendapatkan sosok yang diharapkan. Lalu Supa mengambil delima dari kebunnya dan bernazar,”Siapa pun lelaki yang mendapatkan buah ini, akan saya jodohkan dengan anakku”.
Delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Di percabangan kiri menuju Ujung dan ke kanan menjadi kali Pegirikan. Tampaknya delima itu berenang ke kanan. Karena suatu pagi santri Sunan Ampel yang mandi di Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu. Sang santri pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel delima itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran, ia melihat banyak banyak santri mandi di sungai. Supa, yakin disinilah delima itu diselamatkan oleh salah satu di antaranya. Apakah ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu Sunan Ampel. Raden Paku, murid Ampel dipanggil dan mengaku. Singkat cerita Raden Paku dinikahkan dengan anak Supa.
Sunan Bungkul mungkin tidak setenar Sunan Ampel atau Sunan Giri.Tapi,sumbangsihnya dalam awal penyebaran Islam di tanah Jawa tak bisa diabaikan begitu saja.
Sebutan Mbah Bungkul kemudian terus bertengger, ini dimaksudkan sebagai orang pertama di wilayah itu. Namanya juga disejajarkan dengan tokoh perjuangan Islam tingkat lokal seperti Syeh Abdul Muhyi di Tasikmalaya, Jawa Barat, Sunan Geseng di Magelang, Sunan Tembayat di Klaten, Ki Ageng Gribig di Klaten, Sunan Panggung di Tegal, Jawa Tengah, dan Sunan Prapen di Gresik, Jawa Timur serta wali-wali lokal lainnya di Nusantara. Ada yang menyebut sosoknya sebagai lelaki keturunan Ki Gede atau Ki Mbah atau Sunan Bungkul ini merupakan guru sekaligus tokoh spiritualnya Raden Rahmat sebelum menjadi Namun siapa sosok sunan yang dimakamkan di Bungkul itu? Kisahnya tidak pernah menjadi mainstream cerita wali yang selalu didominasi kiprah sembilan wali. Jika setiap sehari-hari makam ini ramai, itu sekadar menjadi objek ziarah pelengkap setelah puas bertakziah ke makam Ampel. Nama Mbah Bungkul hanya ditemukan sekilas di catatan lawas Babad Ngampeldenta terbitan 2 Oktober 1901 yang naskah aslinya di Yayasan Panti Budaya Jogjakarta. Kecuali itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta.
Sulitnya menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarahwan mendiang GH Von Faber pada bukunya Oud Soerabaia, terbitan 1931. Faber mencatat kesan Bungkul dalam bahasa Belanda yang kira-kira terjemahannya demikian: Orang-orang tua melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul ini. Pelanggaran terhadap larangan itu pasti diganjar hukuman. Si pelanggar akan diancam oleh jin, diisap darahnya oleh kelelawar, lehernya dipelintir dan sebagainya, demikian pula ibu, istri, dan anak-anaknya akan mendapatkan celaka.
Namun siapa sosok sunan yang dimakamkan di Bungkul itu? Kisahnya tidak pernah menjadi mainstream cerita wali yang selalu didominasi kiprah sembilan wali. Jika setiap sehari-hari makam ini ramai, itu sekadar menjadi objek ziarah pelengkap setelah puas bertakziah ke makam Ampel. Nama Mbah Bungkul hanya ditemukan sekilas di catatan lawas Babad Ngampeldenta terbitan 2 Oktober 1901 yang naskah aslinya di Yayasan Panti Budaya Jogjakarta. Kecuali itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta.
Sulitnya menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarahwan mendiang GH Von Faber pada bukunya Oud Soerabaia, terbitan 1931. Faber mencatat kesan Bungkul dalam bahasa Belanda yang kira-kira terjemahannya demikian: Orang-orang tua melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul ini. Pelanggaran terhadap larangan itu pasti diganjar hukuman. Si pelanggar akan diancam oleh jin, diisap darahnya oleh kelelawar, lehernya dipelintir dan sebagainya, demikian pula ibu, istri, dan anak-anaknya akan mendapatkan celaka.
Saat ini, paling tidak dapat dijelasan bahwa sosok Mbah bungkul adalah keturunan Ki Gede atau Ki Ageng dari Majapahit. Tetapi bukti yang mengatakan hal tersebut sangatlah minim tidak seperti Sunan Ampel.
Selain di Taman Bungkul, sejumlah makam pengikut Bungkul banyak tersebar di kawasan Darmo. Sebagian sudah tergusur, beberapa masih bertahan. Salah satunya yang terdapat di depan Kantor Kecamatan Tegalsari Jl Tanggulangan, sekitar 100 meter dari Jl Raya Darmo atau 300 meter sebelah utara makam Mbah Bungkul. Namanya makam Mbah Kusir, diyakini kusirnya Mbah Bungkul.