free counters

Minggu, 18 Maret 2012

RESUME BUKU



Rukiati, J. Enung dan Hikmawati, Fenti. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Buku ini mengkaji tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejak zaman masuknya Islam ke Indonesia sampai abad modern. Pada bagian awal, buku ini membahas tentang kehidupan bangsa Indonesia sebelum masuknya Islam dan menerangkan proses masuknya Islam ke Indonesia. Pembahasan pokok dalam buku ini adalah tentang pendidikan Islam di daerah-daerah Indonesia, pendidikan pada masa penjajahan, serta organisasi dan tokoh Islam Indonesia pasca kemerdekaan serta peranannya dalam pendidikan di Indonesia. Pada bagian ahir, buku ini menjelaskan tentang perempuan, baik proses pembuatan perempuan, hak-hak perempuan, pendidikan perempuan Indonesia dan tokoh-tokoh pendidikan perempuan Indonesia.
Sejarah Islam Indonesia adalah ilmu yang membahas tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia dari masa ke masa sejak masuknya Islam ke Indonesia sampai sekarang. Objek kajian sejarah pendidikan Islam di Indonesia adalah pertumbuhan dan perkembangannya baik secara formal, informal, maupun non formal. Metode yang ditempuh biasanya adalah keterpaduan antara metode diskriptif, kompratif, dan analisis sintesis. Sedangkan kegunaan belajar sejarah pendidikan Islam di Indonesia adalah sebagai faktor keteladanan, cermin, perbandingan, dan perbaikan keadaan. Adapun fase-fase yang dilalui sejarah pendidkan Islam di Indonesia adalah masuknya Islam ke Indonesia, pengembagan, politik, penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, orde lama dan orde baru, dan pembangunan.
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M/ 1 H, tetapi baru meluas pada abad ke- 13 M. Perluasan Islam ditandai dengan adanya kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak tahun 1292 dan Samudra Pasai tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di pantai Samudra Utara dan urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian menyebar ke pulau Jawa dan seterusnya ke Indonesia bagian timur- walaupun di sana terjadi peperangan. Masuknya Islam ke Indonesia dan peralihan dari Hindu ke Islam umumnya secara damai.
Masa kerajaan Islam merupakan salah satu dari priodesasi perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini karena lahirnya kerajaan Islam yang disertai kebijakan dari penguasanya saat itu sangat mewarnai sejarah Islam di Indonesia. Terlebih-lebih, agama Islam juga pernah dijadikan sebagai agama resmi negara atau kerjaan pada masa itu.
Kerajaan Aceh Darusslam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaedah 916 H menyatakan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu. Hal ini merupakan tempaan sejak berabad-abad yang lalu, yang berlandaskan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan. Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjananya yang terkenal di dalam dan di luar negeri sehingga banyak orang yang datang ke Aceh untuk menuntut ilmu. Bahkan, ibukota kerajaan Aceh Darusslam terus berkembang menjadi kota internasional dan menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Adapun jenjang pendidikan yang ada di Aceh adalah: Meunasah (Madrasah), Rangkang (Madrasah Tsanawiyah), Dayah (Madrasah Aliyah), dan Dayah Teuku Cik (Perguruan Tinggi).
Sejarah pendidikan Islam di Jawa berlainan dengan keadaannya di Sumatera, Sulaweai, dan Maluku. Ajaran Islam di Jawa tersebar dari pelabuhan dan bandar-bandar tenpat perhubungan antara Indonesia dan luar negeri. Akibat hubungan ini, para pedagang Indonesia mendengar dan mengetahui tentang Islam dan juga tentang pendidikan Islam melalui percakapan mereka sehari-hari.
Lain halnya dengan Maluku, pelaksanaan pendidikan ketika itu telah maju dibanding dengan daerah-daerah lainnya karena telah didirikan pesantren dan madrasah yang lebih terorganisasi. Madrasah di Ambon yang terkenal pada masa itu adalah madrasah Mahasinul Akhlak, yang telah banyak mengeluarkan para pemuda Islam yang terjn secara langsung kepada masyarakat sebagai guru dan pemimpin agama.
Pendidikan di Kalimantan dimulai pada tahun 1716 M, di sana terdapat ulama besar yang bernama Syekh Arsyad Al-Banjari di Desa Kalampayan yang terkenal sebagai pendidik dan muballigh besar. Pengaruhnya meliputi seluruh Kalimantan. Mengenai Sulawesi ajaran Islam sejak dahulu berkembang pesat. Banyak pesantren berdiri dan berkembang pesat pula. Perkembangan itu mulai pesat sejak adanya alim ulama Bugis yang datang dari tanah suci Mekkah, yang bermukim di sana selama beberapa tahun lamanya. Syekh As’ad di Singkang adalah salah seorang yang berjasa dalam perkembangan pondok pesantren. Sistem dan rencana pengajaran pesantren di Sulawesi hampir sama dengan sistem dan pengajaran di Sumatera dan Jawa, yaitu bersumber dari Mekkah. Kemudian, berangsur-angsur didirikan madrasah-madrasah yang memakai bangku, meja, dan papan tulis.
Di Nusa Tenggara pada tanggal 15 Jumadil Akhir H. Muhammad Zainuddin yang merupakan salah satu ulama besar di Pancor, Lombok Timur mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah dan juga Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah yang ditujukan pada murid-murid perempuan.
Kedatangan bangsa barat di satu pihak membawa dampak pada kemajuan teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak dinikmati oleh penduduk pribumi. Tujuannya hanyalah meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan, mereka telah memperkenalkan metode dan sistem baru, dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Kenyataannya, Belanda sebagai negara penjajah benar-benar mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan dari bumu Nusantara ini. Apa yang mereka sebut dengan pembaharuan tidak lain adalah Westernisasi dan Kristenissasi, yang kesemuanya dilakukan untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Belanda di Indonesia selama 3,5 abad.
Sebelum tahun 1900, kita mengenal pendidikan Islam secara perseorangan, melalui rumah tangga dan surau/langgar atau masjid. Pendidikan secara perseorangan dan rumah tangga itu lebih mengutamakan pelajaran praktis, misalnya tentang ketuhanan, keimanan, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Belum ada pemisahan mata pelajaran tertentu dan pelajaran yang diberikanpun belum sistematis. Lembaga-lembaga Islam sebelum tahun 1900 masi relatif sedikit dan berlangsung secara sederhana. Setelah itu, dalam periode yang disebut peralihan ini telah banyak berdir tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syeikh H. Ibrahim Parabek dan di Pulau Jawa seperti Pesantren Tebuireng, namun sistem madrasah belum dikenal.
Pada waktu ini kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap Pendidikan Islam Indonesia sangat ketat. Di Samping itu, pemerintah kolonial juga gencar mempropagandakan pendidikan yang mereka kelola, yaitu pendidikan yang membedakan antara golongan Priyayi atau pejabat bahkan yang beragama Kristen.
Gaung isu nasionalisme merambah ke mana-mana. Ini berkat tampilnya Budi Utomo pada tahun 1908 yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa perjuangan bangsa Indonesia yang selama ini cuma mengandalkan kekuatan dan kedaerahan tanpa memperhatikan persatuan sulit untuk mencapai keberhasilan. Karena itulah, sejak tahun 1908 timbul kesadaran baru bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.
Setelah Belanda, Jepang muncul sebagai negara kuat Asia. Bangsa Jepang bercita-cita menjadi pemimpin Asia Raya, dan hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Menurutt rencana tersebut, Jepang ingin menjadi pusat lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Daratan Cina, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Thailand, Indo China, dan Rusia.
Pendidikan pada zaman Jepang disebut Hakko Ichiu, yakni bangsa mengajak bangsa Indonesia bekerja sama dalam rangka kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu, setiap hari pelajar terutama pada pagi hari harus mengucapkan umpah setia pada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan di zaman Jepang berbeda dengan penjajahan Belanda. Sekolah-sekolah yang ada pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang. Segala daya upaya ditujukan untuk kepentingan perang. Murid-murid hanya mendapat pengetahuan yang sangat sedikit sekali. Hampir sepanjang hari, mereka mengikuti kegiatan latihan perang atau bekerja.
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana dianjurkan oleh BPKNP tanggal 27 Desember 1945. Badan ini menyebutkan bahwa madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah mendapat perhatian dan bantuan material dari pemerintah.
Latar belakang munculnya organisasi-organisasi Islam di Indonesia lebih banyak dikarenakan mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme sekaligus sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai alat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah pertama diwujudkan dalam bentuk kesadaran berorganisasi.
Dengan gigih dan mengorbankan jiwa maupun harta, melalui organisasi umat Islam, mereka menyumbangkan andil besar dalam merebut kemerdekaan. banyak pahlawan yang gugur dalam medan peperangan sebagai kusuma bangsa. Dari organisasi ini ditumbuhkan dan dikembangkan sikap dan rasa Nasionalisme di kalangan rakyat melalui pendidikan. Di antara organisasi iitu adalah:
Jami’at Khair yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Hal penting yang dapat dicatat bahwa Jami’at Khair merupakan organisasi modern pertama dalam masyarakat Islam di Indonesia, yang memiliki AD/ART, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat secara berkala, dan mendirikan lembaga pendidikan dengan memakai sistem yang boleh dikatakan cukup modern, di antaranya memiliki kurikulum, kelas-kelas, pemakaian bangku, alat tulis, dan sebagainya. Dengan demikian, Jami’at Khair bisa dikatakan sebagai pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia.
Muhammadiyah; yaitu organisasi yang berdasarkan agama Islam, sosial, dan kebangsaan; sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan juga sampai sekarang ini. Organisasi ini didirikan pada tanggal 8 Dzul Hijjah 1330 H oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat pendidikan, serta tidak memisah-misahkan antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Dengan demikian diharapkan bangsa Indonesia dapat dididik menjadi bangsa yang utuh berkepribadian, yaitu pribadi yang berpengetahuan umum luas dan agama yang mendalam.
Nahdatul Ulama’ (NU); didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M, yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. Motivasi utama berdirinya NU adalah mengorganisasikan potensi dan peranan ulama pesantren yang sudah ada, untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas, yang bagi NU dijadikan sebagai wadah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama’ pesantren di dalam tugas pengabdian yang tidak terbatas pada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual Islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulama lebih peka terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan masalah kemasyarakatan pada umumnya.
Al-Irsyad didirikan pada tahun 1983 oleh perhimpunan Al-Irsyad jakarta dengan pelopornya Ahmad Surkai Al-Anshari. Tujuan perkumpualn Al-Irsyad ialah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan orang Arab di Indonesia. Selain bergerak di bidang pendidikan, Al-Irsyad juga bergerak di bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul secara murni dan konsekuen.
Perserikatan Ulama’; organisasi ini didirikan atas inisiatif KH. Abdul Halim pada tahun 1911 sebagai perwujudan dari lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia, khususnya terjadi di Malajengka, Jawa Barat. Termotifasinya KH. Abdul Halim dalam melaksanakan berbagai kegiatan, terutama di bidang pendidikan, di antaranya karena pengalaman selama di Mekkah yang membuatnya cukup terkesan dengan dua lembaga pendidikan yaitu Bab Al-Salam dekat Mekkah dan yang lainnya di Jeddah. Lembaga pendidikan tersebut sudah menerapkan sistem pendidikan yang cukup maju dengan meninggalkan sistem lama yang memakai. Inilah yang mengilhaminya untuk mengadakan perubahan sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya sekembalinya ke tanah air. Di samping itu, yang juga memotifasinya adalah ia ingin membuktikan kepada pihak familinya yang kebanyakan golongan priyayi, bahwa ia mampu melayani masyarakat dengan baik.
Persatuan Islam (Persis); didirikan pada tanggal 17 September 1923 oleh KH. Zamzam. Kegiatan Persis di antaranya mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah, dan menerbitkan famflet, majalah, serta kitab. Penerbitannya inilah yang meneyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikirannya. Penerbitan ini juga yang dijadikan referensi oleh guru-guru organisasi lain seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah. Dalam kegiatan ini, persis mendapatkan dukungan dari dua orang tokoh yang sangat penting, yaitu Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah: Pertama: Masjid dan Surau, lembaga ini merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam masyarakat muslim. Pada dasarnya, masjid atau langgar mempunyai fungsi yang tidak terlepas dari kehidupan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan, masjid befungsi sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tufas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya, pendidikan di langgar atau di masjid, dalam arti yang sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal dan sekaligus lembaga pendidikan sosial. Kedua: Pondok Pesantren, memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan wetonan. Ketiga: Madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam mulai berkembang di dunia Islam sekitar abad ke-15 H atau ke-10 M. Ketika penduduk Naisabur mendirikan lembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut untuk pertama kalinya. Keempat: Majelis Taklim yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang bersifat nonformal, yang senantiasa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia, meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilan jemaahya, serta membeerantas kebodohan umat Islam agar memperoleh kehiduan yang bahagia dan sejahtera.
Akhir dari buku ini yaitu menjabarkan tentang tokoh-tokoh pendidikan perempuan Indonesia, yaitu: R.A Kartini (1879-1904 M), Raden Dwi Sartika (1884-1947 M), Rohana Kudus (1884-1969 M), dan Rahmah El Yunusiyah (lahir 1900 M).
R.A Kartini dilahirkan di Jepara, pada tanggal 21 April 1879. Ayahnya adalah seorang bupati Jepara yang bernama R.M Adipati Sosroningrat. Pada tahun 1902, kartini dinikahkan dengan R.M Djodjo Adiningrat, Bupati Rembang. Perjuangan R.A Kartini sebenarnya ialah ingin memperbaiki kedudukan dan derajat kaum perempuan. Selain dapat mengurus rumah tangganya, kaum perempuan juga dapat mengerjakan pekerjaan lain yang menunjang kelangsungan hidupnya dengan rasa aman, tentram, dan damai. Ia merasa bahwa perempuan Indonesia harus belajar karena perempuan terpelajar akan pandai mendidik anaknya yang berusaha untuk menyempurnakan dalam mengurus rumah tangganya. R.A Kartini tidak hanya mencoba melawan hukum adat, tetapi juga menentang penyebab utamanya, yakni adanya penjajah Belanda.
Raden Dewi sartika lahir di Bandung tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya bernama Raden Somanegara, Patih Bandung. Ibunya bernama Raja Permas. Cita-citanya tidak berbeda dengan R.A Kartini, yakni mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia dengan jalan memajukan pendidikannya, terutama kaum perempuan yang tidak diberi kesempatan untuk mengejar kemauan, terutama dalam bidang pendidikan.
Keadaan masyarakat perempuan Indonesia pada kehidupan Dewi Sartika tidak berbeda dengan kehidupan masyarakat Kartini. Dimulainya perjuangan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak perempuan yang masih tertinggal dalam alam kegelapan sudah menjadi tujuan hidupnya, untuk menyumbangkan tenaganya bagi kepentingan nusa dan bangsanya. Dalam merealisasikan cita-citanya, pada tahun 1904 didirikan nama sekolah dengan nama Sekolah Istri. Pada tahun 1912, sekolah ini tersebar di seluruh Pasundan. Angkatan pertama muridnya sebanyak 20 orang. Dalam tahun kedua, kelasnya bertambah dan muridnyapun bertambah banyak. Murid-muridnya tidak hanya anak-anak perempuan dari kota, tetapi juga dari kewadanaan dan kecamatan. Pelajaran yang diberi di sekolah ini ditambah dengan kerajinan perempuan.
Rohana Kudus dilahirkan di kota Gedang Sumatera pada tanggal 20 Desember 1884, ayahnya bernama Muhammad Rasyad Maharaja Sultan, juru tulis di sebuah kantor Alahan Panjang. Ia adalah perempuan yang sangat taat kepada agama dan giat mempelopori emansipasi teradap perempuan. Rohana memulai perjuangannya di bidang pendidikan dari Kartini. Ia pun berkeinginan untuk menerbitkan surat kabar perempuan sebagai pelita di masa gelap, kaum perempuan Indonesia. Kemudian, ia mengadakan perundingan dengan datuk Sultan Maharaja, pimpinan surat kabar Oetosan Melajoe. Pada tanggal 10 Juli 1912, terbit sura kabar perempuan di pajang bernama Soenting Melajue dan Rohana diangkat menjadi pimpinan redaksinya sampai mencapai kemajuan dalam waktu yang singkat.
Terakhir, Rahmah El-Yunusiyah yang lahir di Kota Padang pada tanggal 29 Desember 1900 m. Dalam silsilah keturunannya, ia mempunyai pertalian darah dengan seorang ulama besar di Minagkabau, Tuanku Nan Pualang di Rao, seorang alaim yang hidup di zaman Paderi dan peralihan di Minagkabau. Ibunya bernama Rafiah dan ayahnya Syekh Muhammad Yunus, seorang ulama dari ahli falak yang memangku jabatan qadhi di Negeri Pandai Sikat Padang Panjang.
Pikiran Rahmah diilhami oleh dasar fialsafah adat Minangkabau, yaitu dasar kekeluargaan dimulai di rumah tangga. Dalam menghadapi dua hal yang menurutnya berlainan yaitu antara kehendak adat yang memerlukan kata kiasan dan agama yang menuntut keterusterangan, Rahmah mengadakan semacam synthese, yakni dengan mendirikan sekolah khusus untuk perempuan, yang di dalamnya dibicarakan segela macam masalah agama.
Banyak tantangan yang dihadapi Rahmah pada waktu sekolah ini didirikan. Masyarakat yang masih berpegang teguh dengan tradisi lama selalu melancarkan kritik dan cemoohan terhadapnya. Kata-kata seperti “mana pula orang perempuan akan mengajar, akan jadi guru, mengepit-ngepit buku, membuang-buang waktu akhirnya akan ke dapur juga, lebih baik dari kni ke dapur” seiring dilontarkan kepadanya, tetapi berkat keyakinan yang mantap dan berpegang teguh kepada janji Allah dalam Al-Qur’an surat Muhammad ayat 7.
Hemat penulis, buku ini memiliki sebuah kelebihan yang mencolok yakni singkat, padat, dan jelas. Tetapi dibalik semua itu ada sesuatu yang masih kurang diteliti dalam sistematika penulisannya yakni numberring-nya tidak berurut, ada pengulangan sub-bahasan sehingga cendrung membingungkan, dan sering tidak menyebutkan tahun.

TRENDY ‘POLITICAL DIVORCE’

A. ARTICEL
        The trendy of political breakpus between heads of regional adimistration and their deputies before completion of their term is a very regrettable and disapointing fact for voters, who elect pairs of leaders in the hope that they will be prepared to serve the people for at least the five year as mandated by the existing law.
According to home ministry data, 93,5 percent of 244 pairs of regional heads acros the country split up before their tenure ended between 2010 and 2011 the latest case in point is Jakarta deputy Governor Prijanto, who submited his resignation letter to the ministry and the Jakarta city legislative council, seven month before the next city gubernatory election.
We, the general public, do not know exactly the reasons for their breapus, but from a member of cases disharmony between pairs of regional heads Governors, regents and Mayors and their Deputies, we may conclude that they were politically motivated.
In many cases, Deputies to regional heads, who are unhappy with their second rank position, challage their bosses as they think they on obtain the higher position for themselves.
In the cases Prijanto, despite his rebuttal, the fact is he submitted his resignation after he had expressed his readinese to contest the governatorial race.
Deputies should be aware from the very beginning of their positions as the number- two persons in office, therefore quitting before their term in office is complete is morally unacceptable.
They should not resigned simply due to disapointment with their bosses; they have after all been elected by the people in pairs and as a package.
Whatever the reasons, such political breakpus are not in the interest of the general public. The state spends a large amount of taxpayers’ money to organize elections if the elected officers cannot remain united, why should the state waste such huges sums of money?
It is, therefore, understandable that home minister Gunawan Fauzi has proposed that regional elections should only elect the regional heads, who should then appoint their deputies themselves.
Homever, such a mecanisme is not without risk as the general public, through regional legistures, could not demand accountability from the deputies as the latter would argue that they wens appointed by the regional heads and need only report to them and not to the public.
It is indeed the right of every regional heads and their deputy to resign from office, but personal disharmony and dislike should not be used as an excuse for a brekup. Only valid reasons, such us permanent disability or equally serious issues, are acceptable.
Also important are clear job discriptions outlining the duties of regional heads and their deputies so as to avoid overlapping responsibility.
Quite apart from all these tecnicalitiy it is important to know as much as possible about all contestant in regional elections.
They must not votes for candidats who are only interested in againing power and other privileges but who neglect their obligation to serve the public once elected as regional heads and deputies.
Elected leaders must serve the interests of the electorate who have cast their votes from them not vice verse.
B. TERJEMAH
Para trendi breakpus politik antara kepala daerah dan wakil adinistrasi mereka sebelum menyelesaikan istilah mereka adalah fakta yang sangat disesalkan dan tidak berguna bagi pemilih, yang memilih pasangan pemimpin dengan harapan bahwa mereka akan siap untuk melayani orang-orang untuk setidaknya lima tahun sebagaimana diamanatkan oleh hukum yang ada.
Menurut data kementerian dalam negeri, 93,5 persen dari 244 pasangan kepala daerah dalam negeri berpisah sebelum masa jabatan mereka berakhir antara tahun 2010 dan 2011 kasus terbaru dalam hal ini adalah wakil Gubernur Jakarta Prijanto, yang mengajukan surat pengunduran dirinya kepada pelayanan dan dewan legislatif kota Jakarta, tujuh bulan sebelum pemilihan gubernur kota berikutnya.
Kami, masyarakat umum, tidak tahu persis alasan breakpus mereka, tetapi dari anggota kasus ketidakharmonisan antara pasangan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota dan Deputi mereka, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka bermotif politik.
Dalam banyak kasus, Deputi untuk kepala daerah, yang tidak senang dengan posisi peringkat kedua mereka, melombai bos mereka saat mereka pikir mereka pada mendapatkan posisi yang lebih tinggi untuk diri mereka sendiri.
Dalam kasus Prijanto, meskipun sanggahan nya, faktanya adalah ia mengajukan pengunduran dirinya setelah ia menyatakan keanggupan untuk kontes perlombaan kegubernuran.
Deputi harus menyadari dari awal posisi mereka sebagai nomor dua orang di kantor, karena itu berhenti sebelum masa mereka di kantor selesai secara moral tidak dapat diterima.
Mereka seharusnya tidak mengundurkan diri hanya karena kesalahpahaman dengan bos mereka, mereka telah setelah semua telah dipilih oleh rakyat secara berpasangan dan sebagai sebuah paket.
Apapun alasannya, breakpus politik tersebut tidak dalam kepentingan masyarakat umum. Negara menghabiskan sejumlah besar uang pembayar pajak 'untuk menyelenggarakan pemilihan jika petugas terpilih tidak dapat tetap bersatu, mengapa negara seperti limbah dengan jumlah uang yang sangat banyak?.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Menteri dalam negeri Gunawan Fauzi telah mengusulkan bahwa pemilihan kepala daerah hanya harus memilih kepala daerah, yang kemudian harus menunjuk deputi mereka sendiri.
Dimanapun, seperti mekanisme adalah bukan tanpa risiko sebagai masyarakat umum, melalui legislatif daerah, tidak bisa menuntut akuntabilitas dari para deputi sebagai yang terakhir akan berpendapat bahwa mereka akan ditunjuk oleh kepala daerah dan hanya perlu melaporkan kepada mereka dan tidak untuk umum.
Memang setiap kepala daerah dan wakil mereka berhak untuk mengundurkan diri dari kantor, namun ketidakharmonisan pribadi dan tidak suka tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk suatu brekpus. Hanya alasan yang sah, cacat permanen atau masalah serius, dapat diterima.
Juga penting adalah diskripsi pekerjaan yang jelas dalam menguraikan tugas kepala daerah dan wakil-wakil mereka sehingga untuk menghindari tumpang tindih tanggung jawab.
Terlepas dari semua teknik ini penting untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang semua kontestan dalam pemilihan daerah.
Mereka harus tidak bersuara untuk candidat yang hanya tertarik pada kekuasaan dan orang yang mempunyai hak istimewa tetapi mereka yang mengabaikan kewajiban lainnya untuk melayani publik sebagai pilihan sebagai kepala daerah dan wakil.
Pemimpin terpilih harus melayani kepentingan pemilih yang telah memberikan suara mereka dari mereka bukan ayat wakil.
sumber: Jakarta Post