free counters

Sabtu, 16 April 2011

ASBAB AL-NUZUL

Oleh: Syahriyah
(Mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam)

A.    Manfaat-Manfaat Asbab Al-Nuzul
Ababun Nuzul ada kalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum suatu masalah, sehingga Qur’an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat pengantar pelajaran dengan sesuatu yang baru dan dipilihnya, sebab bila ia menyampaikan sebab nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, menarik minat, memusatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka segera dapat memahami pelajaran itu secara umum dengan mengetahui asbabun nuzul karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kitab yang menarik. Dengan demikian, jiwa mereka terdorong mengetahui ayat apa yang diturunkan sesuai dengan sebab nuzul itu serta rahasia-rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, yang ke semuanya ini memberi petunjuk kepada manusia ke jalan kehidupan lurus, jalan menuju kekuatan, kemuliaan dan kebahagiaan.
Para pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran di bangku-bangku sekolah ataupun pendidikan umum, dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan perlu memanfaatkan konteks asbabun nuzul untuk memberikan rangsangan kepada anak didik yang tengah belajar dan masyarakat umum yang dibimbing. Cara demikian merupakan cara paling bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut dengan mempergunakan metode pemberian pengertian paling menarik dan bentuk paling tinggi.
Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat.
2.      Menentukan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
3.      Menghindarkan prasangka bahwa arti “hars” dalam suatu ayat yang zahirnya hasr.
4.      Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.
5.      Pengetahuan terhadap sebab turunnya ayat dan menafsirkan dengan benar, menghindari pemakaian kata dan simbol yang (keluar) dari maknanya.
Al-Wahidin an-Naisaburi menulis:
Ia menyempurnakan apa yang seharusnya berhenti, serta peran yang utama yang di-tasarruf-kan, untuk mencegah penafsiran ayat dan maksud/tujuan jalannya, tanpa berhenti atas kisahnya, serta penjelasan turunnya. (Naisaburi, 1388: 4)
Abu Al-Fath al-Qusyairi berkata:
Penjelasan sebab-sebab turunnya ayat adalah metode yang ampuh untuk memahami makna-makna kitab Allah al-Aziz. (Zarkasyi, I,1400: 2)
Ibnu Taimiyah mengatakan:
Pengetahuan terhadap sebab turunnya ayat membantu pemahaman terhadap ayat, karena akan mengerti terhadap sebab. Oleh karenanya benar sekali perkataan fuqaha, bahwa apabila tidak diketahui apa yang dimaksudkan (diniyatkan) oleh yang bersumpah hendaknya dikembalikan kepada sebab sumpahnya dan ada yang membangkit serta pengaruh-pengaruhnya. (Taimiyah, 1391: 47)
Korelasi antara Ayat dengan Ayat dan Surah dengan Surah
Seperti halnya pengetahuan tentang asbabun nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama mengkhususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini.[1]
Munasabah (korelasi) dalam pengertian bahasa berarti kedekatan. Dikatakan, “si anu munasabah dengan si fulan” berarti ia mendekati dan menyerupai si fulan itu. Dan di antara pengertian ini ialah munasabah ‘illat hukum dalam bab kias, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum.
Contoh tentang Manfaat Asbabun Nuzul
Ketika Marwan ibnul Hakam menemui kesulitan dalam memahami ayat:
لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. (ال عمران: ١٨٨)
Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksaan yang pedih.” (QS. Al-Imran: 188)
Beliau memerintah kepada pembantunya, “Pergilah menemui Ibnu Abbas dan katakan kepadanya, Bila orang yang telah merasa gembira dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji terhadap perbuatan yang belum terbukti hasilnya akan disiksa, maka kamipun akan terkena siksa.” Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya (pembantunya Marwan ibnu Hakam), bahwa ayat tersebut bukanlah bermakna demikian. Ayat tersebut turun sehubungan dengan Ahli Kitab (Yahudi). Ibnu Abbas menyebutkan ayat: “Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang yang telah diberi Kitab.” (QS. Ali Imran: 187).
Tatkala ditanya oleh Nabi SAW. tentang suatu persoalan para Ahli Kitab tersebut menyembunyikan persoalan yang ditanyakan oleh Nabi telah terjawab. Setelah itu, mereka meminta pujian kepada Nabi dan mereka merasa gembira atas perbuatan mereka yaitu menyembunyikan permasalahan yang ditanyakan kepada mereka, maka turunlah ayat tersebut di atas.

B.     Macam-Macam Asbab Al-Nuzul
تَعَدُّدُالرِّوَايَاتِ فيِ سَبَبِ نَازِلٍ وَاحِدٍ مِنَ اْلقُرْاَنِ اَوْتَعَدُّدُ النَّازِلٍ وَالسَّبَبُ وَاحِدٌ.
(Bermacam-macam sebabnya, sedang ayat yang turun hanya satu, atau bermacam-macam ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu).
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab al-Nuzul dapat dibagi kepada Ta’addud al-Asbab wa al-Nazil Wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu) dan Ta’uddud al-Nazil wa al-Sabab Wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu). Sebab turun ayat disebut Ta’addud bila ditemukan dua riwayat yang berbeda atau lebih tentang sebab turun suatu ayat atau sekelompok ayat tertentu. Sebaliknya, sebab turun itu disebut wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu. Suatu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut Ta’addud Al-Nazil bila inti persoalan yang terkandung dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu persoalan.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka kedua riwayat ini diteliti dan dianalisis. Permasalahannya ada empat bentuk. Pertama salah satu dari keduanya sahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya sahih, akan tetapi salah satunya mempunyai penguat (murajjih) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya sahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat (murajjih). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Bentuk keempat, keduanya sahih, tidak mempunyai penguat (murajjih), dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.
Bentuk pertama diselesaikan dengan jalan memilih riwayat yang sahih dan menolak yang tidak sahih. Misalnya perbedaan yang terjadi antara riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya dari satu pihak dan riwayat At-Tabrani dan Ibnu Abi Syaibah di pihak lain. Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Jundab. Ia (Jundab) berkata: “Nabi SAW. kesakitan sehingga ia tidak bangun satu atau dua malam. Seorang perempuan datang kepadanya dan berkata: “Hai Muhammad, saya tidak melihat setanmu kecuali ia telah meninggalkanmu”, maka Allah menurunkan:
وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى. (الضح: 1-٣)
Al-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Hafsh bin Maisarah dari ibunya, dan ibunya (neneknya dari ibu) dan ibunya ini pembantu Rasul SAW: “Sesungguhnya seekor anak anjing memasuki rumah Nabi SAW. Anak anjing itu masuk ke bawah tempat tidur dan mati, maka selama empat hari Nabi SAW. tidak dituruni wahyu. Maka ia (Nabi) berkata: Hai Khaulah, apa yang telah terjadi di rumah Rasulullah? Jibril tidak datang kepadaku”. Saya berkata pada diri saya sendiri: “Sekiranyalah engkau persiapkan rumah ini dan engkau sapu, maka saya jangkaukan penyapu ke bawah tempa tidur itu, maka saya mengeluarkan anak anjing tersebut. Nabi SAW pun datang dalam keadaan jenggotnya gemetar.  Dan memang jika turun
(wahyu) kepadanya ia menjadi gemetar”, maka Allah menurunkan وَالضُّحَى  hingga firman-Nya: فَتَرْصَ 
Dalam hal demikian menurut Al-Zarqani, kita mendahulukan riwayat yang pertama dalam menerangkan sebab turunnya ayat tersebut karena kesahihan riwayatnya dan tidak riwayat yang kedua Sebab dalam sanad riwayat kedua terdapat periwayat yang tidak dikenal Ibnu Hajar berkata: “Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anal anjing yang masuk itu. Akan tetapi, keadaannya menjadi sebab bag turunnya ayat aneh itu. Dalam sanadnya terdapat orang yang tak dikenal. Karena itu, yang diterima adalah yang ada di dalam kitab Sahih”. Bentuk kedua ialah keadaan dua riwayat itu sahih. Akan tetapi, salah satu di antaranya mempunyai penguat (murajjih) Penyelesaiannya ada dengan mengambil yang kuat rajihah. Penguat (murajjih) itu adakalanya salah satunya lebih sahih dari yang lainnya atau periwayat salah satu dari keduanya menyaksikan kisah itu berlangsung sedang periwayat lainnya tidak demikian. Misalnya, hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Ibnu Mas’ud. Ia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Saya berjalan bersama. Nabi SAW. di Madinah dan ia (Nabi) bertongkatkan pelepah kurma. Ia melewati sekelompok orang Yahudi. Mereka berkata kepada sebagian yang lainnya: “Coba kamu tanya dia”, maka mereka berkata: “Ceritakan kepada kami tentang ruh”. Nabi terhenti sejenak dan kemudian ia mengangkatkan kepalanya. Saya pun mengerti bahwa ia dituruni wahyu hingga wahyu itu naik. Kemudian ia berkata:
قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبيِّ ْوَمَااُوْتِيْتُمْ مِنَ اْلعِلْمِ اِلاَّقَلِيْلاً.
Dalam hubungan ayat yang sama, At-Tirmizi meriwayatkan hadis yang disahihkannya dari Ibnu Abbas. Ia (Ibnu Abbas) berkata: “Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, “Berikanlah kepada kami sesuatu yang akan kami pertanyakan kepada orang ini (Nabi)”. Mereka berkata “Tanyakanlah kepadanya tentang ruh”, mereka pun menanyakannya, maka Allah menurunkan:
وَيَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الرُّوْحِ. (الاية)
Menurut As-Suyuti dan A1-Zarqani, riwayat yang kedua mi menunjukkan bahwa ayat tersebut turun di Mekkah dan sebab turunnya adalah pertanyaan kaum Quraisy. Sedangkan riwayat yang pertama jelas menunjukkan turunnya di Madinah karena sebab turunnya adalah pertanyaan orang-orang Yahudi. Riwayat yang pertama ini lebih kuat dari yang kedua. Yang pertama adalah riwayat Al-Bukhari dan yang kedua riwayat At-Tirmizi. Telah menjadi ketentuan bahwa riwayat Al-Bukhari lebih sahih dari riwayat lainnya. Kemudian, periwayat pertama, Ibnu Mas’ud menyaksikan kisah turun ayat tersebut, sedangkan periwayat hadits kedua tidak demikian. Orang yang menyaksikan tentunya mempunyai kekuatan yang lebih dalam penerimaan dan penyampaian riwayat daripada orang yang tidak menyaksikannya. Karena itu, riwayat yang pertama diterima dan riwayat yang kedua ditalak.
Bentuk ketiga ialah kesahihan dua riwayat itu sama dan tidak ditemukan penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya. Akan tetapi keduanya dapat dikompromikan. Kedua sebab itu benar terjadi dan ayat turun mengiringi peristiwa tersebut karena masa keduanya berhampiran. Penyelesaiannya adalah dengan menganggap terjadinya beberapa sebab bagi turunnya ayat tersebut. Ibnu Hajar pernah berkata: “Tidak ada halangan bagi terjadinya Ta‘addud Al-Asbab (sebab ganda). Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ikrim dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berbuat mesum (qazf) di sisi Nabi dengan Syarik bin Samha. Nabi berkata: “Bukti atau hukuman (had) atas pundakmu”. Ia berkata: “Hai Rasulullah, jika seseorang dari kami mendapati seorang laki-laki bersama isterinya, dia harus pergi mencari bukti?”. Menurut satu riwayat, ia berkata: “Demi Tuhan yang membangkitkanmu dengan kebenaran, sesungguhnya saya benar, dan sesungguhnya Allah akan menurunkan sesuatu (ayat) yang akan membebaskan pundak saya dari hukuman (had), maka Jibril pun turun dan menurunkan atas (Nabi):
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ. (النور: ٦)
Sementara itu, Al-Bukhari dan Muslim (lafal Al-Bukhari) meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d, bahwa Uwaimir datang kepada Ashim bin Adiy yang adalah pemimpin bani Ajlan seraya berkata: “Bagaimana pendapat kamu tentang seseorang yang menemukan isterinya bersama laki-laki lain. Apakah ia bunuh laki-laki itu maka kamu pun membunuhnya, atau bagaimanakah ia bertindak? Tanyakanlah untuk saya hal yang demikian kepada Rasul SAW. Ashim pergi menanyakan kepada Rasul, tetapi Rasul tidak memberikan jawaban sehingga Uwaimir pergi menanyakannya langsung kepada Rasul. Rasul berkata: “Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang engkau dan temanmu (isterimu)”. Rasul memerintahkan keduanya melakukan Mula’anah sehingga Uwaimir melakukan Li’an terhadap istrinya.”
Kedua riwayat ini sahih dan tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya. Dalam pada itu, tidak terdapat kesulitan untuk menjadikan kedua-duanya sebagai sebab turun ayat-ayat tersebut karena waktu peristiwanya berhampiran. Hilal bin Umayyah dipandang sebagai penanya pertama dan Uwaimir penanya kedua sebelum ada jawaban Rasul. Pada mulanya Uwaimir menanyakannya melalui Ashim dan kemudian menanyakannya secara langsung.
Masalah ini juga dapat diselesaikan melalui jalan lain, yaitu dengan memahaminya dari riwayat yang kedua. Melalui riwayat yang kedua dapat dipahami bahwa ayat-ayat Mula’anah pada mulanya turun sehubungan dengan masalah Hilal. Kemudian, Uwaimir datang, maka Rasul menjawabnya dengan ayat-ayat yang telah turun pada masalah Hilal.
Bentuk keempat adalah keadaan dua riwayat itu sahih, tidak ada penguat (murajjih) bagi salah satu keduanya atas lainnya, dan tidak pula mungkin menjadikan keduanya sekaligus sebagai Asbab Al-Nuzul karena waktu peristiwanya jauh berbeda. Penyelesaian masalah ini adalah dengan menganggap berulang-ulangnya ayat itu turun sebanyak Asbab Al-Nuzulnya. Misalnya ialah hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. tegak dekat Hamzah ketika gugur menjadi syahid dan tubuhnya dicincang. Nabi berkata: “Sungguh saya akan cincang tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu”. Jibril pun turun, Nabi masih berdiri, dengan membawa tiga ayat dari akhir surat Al-Nahl:
وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَا قِبُوْا بِمِثْلِ مَاعُوْقِبْتُمْ بِهِ... الى اخرسورة النحل
sampai akhir surat tersebut. Sementara itu, At-Tirmizi dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ubaiy bin Ka’b. Ia (Ubaiy) berkata: “Tatkala pada perang Uhud jatuh (korban) dari kaum Ansar 64 orang dan dari kaum Muhajirin enam orang termasuk Hamzah, mereka teraniaya, maka kaum Ansar berkata: “Jika kita dapat mengalahkan mereka pada suatu hari seperti ini, kita akan melebihkan (jumlah korban) mereka nanti”. Pada ketika penaklukan Mekkah, Allah menurunkan ayat:
وَاِنْ عَاقَبْتُمْ
Riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat tersebut turun pada perang Uhud dan riwayat kedua menunjukkan turunnya pada penaklukan Mekkah. Sedangkan jarak waktu antara dua peristiwa tersebut beberapa tahun. Karena itu, sulit diterima akal bahwa ayat itu turun satu kali mengiringi dua peristiwa itu sekaligus. Berdasarkan hal yang demikian, tidak ada jalan keluar selain dengan mengatakan turunnya berulang-ulang, sekali pada perang Uhud dan sekali lagi pada penaklukan Mekkah.
Mengenai surat Al-Nahl, sebagian ulama mengatakan bahwa semua ayat-ayat turun di Mekkah. Dengan menggabungkan pendapat terakhir ini dengan pendapat sebelumnya, berarti tiga ayat terakhir dari surat ini turun tiga kali yaitu, di Mekkah bersama ayat-ayat lainnya kemudian secara tersendiri pada perang Uhud dan pada penaklukan Mekkah. Pendapat lain mengatakan bahwa surat Al-Nahl turun di Mekkah selain tiga ayat terakhir. Berdasarkan pendapat ini maka tiga ayat terakhir ini turun hanya dua kali, yaitu pada perang Uhud dan pada penaklukan Mekkah.
Inilah empat bentuk permasalahan dan pemecahannya ketika terjadi Ta‘addud Asbab wa Al-Nazil Wahid, yaitu riwayat tentang sebab turun ayat lebih dari satu riwayat sedang ayat yang turun satu atau beberapa ayat yang turun serempak. Adapun jika sebaliknya, yaitu Ta‘addud Al-Nazil wa Al-Sabab Wahid (ayat yang turun berbeda dan sebabnya tunggal atau sama), maka hal yang demikian tidak menjadi masalah. Hal demikian tidak bertentangan dengan hikmah untuk meyakinkan manusia dan menjelaskan kebenaran. Bahkan, cara yang demikian bisa lebih efektif. Sebagai contoh satu sebab bagi turunnya dua ayat yang berbeda pesan yang dikandungnya ialah Sabab Al-Nuzul yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Al-Thaban, Al-Thabrani, dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas. Ia (Ibnu Abbas) berkata: “Rasul SAW duduk di bawah naungan pohon seraya berkata: “Bahwasanya akan datang kepada kamu seorang manusia yang memandang kamu dengan dua mata setan. Jika ia datang maka janganlah kamu tegur dia”. Tak berapa lama muncullah seseorang yang biru kedua matanya Rasul SAW. memanggilnya seraya berkata: “Mengapa engkau bersama teman-temanmu memaki saya? Laki-laki itu pergi dan datang membawa teman-temannya. Mereka bersumpah dengan Allah bahwa mereka tidak berkata apa-apa sehingga Rasul membiarkan mereka, maka Allah menurunkan ayat:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الأرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ. (التوبة: ٧٤)
Artinya: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS. At-Taubah: 74)
Sementara itu, Al-Hakim dan Ahmad meriwayatkan hadits yang lafalnya sama dengan keduanya berkata: “Maka Allah menurunkan ayat:
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَمَا يَحْلِفُونَ لَكُمْ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُونَ. اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ. (المجادلة: 18-١٩)
Artinya: “(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.” (QS. Al-Mujadilah: 18-19)[2]


Kesimpulan
Dari penjabaran pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya:
1.      Faedah-faedah Asbab Al-Nuzul, meliputi:
a.       Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat.
b.      Menentukan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
c.       Menghindarkan prasangka bahwa arti “hars” dalam suatu ayat yang zahirnya hasr.
d.      Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.
e.       Dan lain-lain yang ada hubungannya dengan faedah ilmu Asbab Nuzul.
2.      Adapun macam-macam Asbab Al-Nuzul, yaitu:
a.       Ta’addud Al-Asbab wa Al-Nuzul Wahid (Bermacam-macam sebabnya, sedang ayat yang turun hanya satu, atau bermacam-macam ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu).
b.      Ta’addud Al-Nazil wa Al-Sabab Wahid (Persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman Ar-Rumi, Fahid, Dr. 1996. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Titipan Illahi Press.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali, Prof. Dr. 1998. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Halimud, SH. 1993. Man’atul Qathan: Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Shadali, Ahmad, Drs. dan Rofi'i, Ahmad, Drs. 2000. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Zahdi, Masjefuk, Drs. 1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: CV. Karya Aditama.



iii
 
 


[1] Diantaranya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim ibnuz Zubair al-Andalusi an-Nahwi al-Hafiz yang wafat pada 807 H. Kitabnya berjudul al-Burhan fi Manasabah Tartibi Sawaril Qur’an. Dan Syaikh Burhanuddin al-Baqa'i mengarang kitab yang diberi judul Nuzumud Durar fi Tanasubil Ayat was-Suwar. Naskah kitab ini terdapat di Darul Kutub al-Misriyyah dalam bentuk manuskrip. Mengenai pembahasan ini lebih lanjut, lihat al-Burhan oleh az-Zarkasyi, jilid 1, hal. 35.
[2] Drs. H. Ramli Abdul Wahid, MA., Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali, 1994), hal. 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar