free counters

Minggu, 15 Januari 2012

SANTRI Vs KYAI DAN PESANTREN: ANTARA REALITA DAN HARAPAN

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berkarakter pribumi, sehingga pengembangan nilai Islam melalui institusi ini memiliki peluang besar untuk dapat diterima di masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pesantren berpijak pada paradigma dasar bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah. Melalui paradigma ini, pesantren memiliki pandangan bahwa perspektif Islam meliputi ibadah formal dan ibadah sosial dilihat dari perilaku yang membawa keuntungan bagi pelaku dan masyarakat luas. Sering dikatakan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional yang di dalamnya anak-anak muda dan dewasa belajar secara lebih mendalam dan lebih lanjut tentang ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis, langsung dari bahasa Arab, serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik karangan ulama-ulama besar. Disebut “tradisional”, karena lembaga ini hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya terkadang sulit untuk mengidentifikasi apakah betul, bahwa suatu pesantren itu masih dapat disebut tradisional sama sekali sekalipun sebagian nilai-nilai tradisional masih dipertahankan. Pondok pesantren yang biasanya disebut juga pesantren menyelenggarakan proses pendidikan yang sifat pendidikannya tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan. Oleh karena itu, pendidikan pesantren dikategorikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang termasuk salah satu bentuk dari jalur pendidikan luar sekolah. Namun jika dipelajari dari segi kelembagaan, maka pesantren adalah sebuah sistem lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat beberapa komponen pendidikan. Di antara elemen-elemen lembaga pendidikan pesantren adalah kyai sebagai pendidik, santri sebagai pesarta didik, mushalla atau masjid sebagai sarana pendidikan, isi kitab kuning sebagai materi pendidikan dan beberapa pondok atau kamar sebagai tempat tinggal para santri. Bahkan untuk saat sekarang pesantren telah mengadopsi sistem klasikan sehingga menyamai sistem sekolah. Oleh karena itu, isu pendidikan miltikultural menjadi suatu usulan yang perlu dipertimbangkan bagi pendidikan pesantren. Bangsa Indonesia, secara kultural memiliki ragam budaya, etnik dan keyakinan yang berbeda-beda. Sehingga ada orang yang mengatakan memang kita berbeda. Pertanyaannya, mengapa kita berbeda? Ini pertanyaan sederhana yang tentu saja tidak sulit untuk dijawab. Setiap manusia mempunyai banyak identias, baik yang berkaitan dengan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan sebagainya. Identitas-identitas tersebut sebagian merupakan sesuatu yang given (pemberian) dan sebagian yang lain merupakan konstruk sosiologis. Dalam kehidupan sosial, relasi antar identitas tersebut seringkali berada dalam ketegangan, kompetesi, bahkan tidak jarang ingin saling menafikan. Harus diakui, masyarakat kita masih sulit menerima perbedaan sebagai realitas yang harus diterima apa adanya. Kalaupun diterima, keragamaan itu lebih dipandang sebagai hal yang negatif daripada positif. Oleh karena itu, penghargaan terhadap multikulturalisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai agama, ras, suku, dan sebagainya, yang usteru lebih mengesankan adanya fragmentasi. Multikulturalisme harus dipahami sebagai pertalian sejati dari berbagai macam keragamaan dalam ikatan-ikatan yang rasional yang berperadaban. Bahkan, multikulturalisme harus dipandang sebagai keniscayaan untuk keselamatan umat manusia dengan mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan. Dengan demikian, multikulturalisme sebagai realitas sosial merpakan sunnatullah sebagai given yang tidak mungkin ditolak oleh siapapun. Menolak kenyataan multikultural sama artinya menolak sunnatullah, maka multikultural memang sengaja didesain Tuhan untuk dinamika kehidupan manusia, atau dalam bahasa agama lita’arafuu (untuk saling mengenal). Akar kata multikulturaslisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pendidikan multukultural berkaitan dengan isu-isu politik, sosial, kultural, edukasional, dan agama. Ada empat nilai atau core values dari pendidikan multikultural, yaitu apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat, pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia, pengembangan tangung jawab masyarakat dunia, dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi. Pendidikan multikultural diartikan sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultural, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, dan ekonomi. Secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membeda-bedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama. Pendidikan multikultural, dalam perspektif Islam, tidak dapat dilepaskan dengan konsep pluralis, sehingga muncul istilah Pendidikan Islam Pluralis-Multikultural. Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam pluralis-multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. Dari praktik-praktik pendidikan multikultural dalam pesantren dapat diidentifikasi model pengembangan pendidikan multikultural di pesantren yang bisa dijadikan sebagai pijakan dalam pengembangan pendidikan multikultur di pesantren-pesantren lain. Model pengembangan pendidikan multikultural tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pengembangan pendidikan multikultural di pesantren sangat dipengaruhi oleh ide dan wawasan kiai pengasuhnya; 2) Pendidikan multikultural di pesantren tidak diajarkan secara khusus melalui mata pelajaran tertentu, tetapi melalui berbagai situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk diberikannya nilai-nilai multikultural kepada para santri. Islam harus diajarkan secara damai tanpa kekerasan; 3) Pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan Islam kepada para santri adalah pendekatan inklusif. Islam diajarkan dengan semangat rahmatan lil’alamin, bukan Islam yang eksklusif dan radikal; 4) Islam yang diajarkan di pesantren adalah Islam yang kaffah yang tidak anti budaya dan tradisi lokal di sekitar pesantren; 5) Model dakwah yang diberlakukan di pesantren salaf mengikuti model dakwah Rasulullah dan para Walisongo yang lembut dan mengapresiasi budaya lokal. Kiai pengasuh pesantren tidak hanya menjadi pemimpin di pesantrennya, tetapi juga menjadi pemimpin masyarakat di sekitar pesantren; 6) Pendidikan multikultur menjunjung tinggi keadilan, termasuk dalam masalah gender; dan 7) Pendidikan multikultural mengajarkan perbedaan dan keberagaman serta toleransi. Pesantren mengajarkan kepada para santri berbagai pendapat (mazhab) yang berbeda-beda dan mereka harus menghormati perbedaan dan keberagaman tersebut, termasuk dalam perbedaan agama atau keyakinan. Santri yang sejak awal disiapkan sebagai kader ulama’ memang memiliki kelebihan dibanding dengan siswa pada institusi-institusi pendidikan lain. Dalam pembelajarannya mereka juga diperkenalkan dengan konsep atau wacana hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman), itu terbukti ketika Belanda tiba di Jawa pada abad 18, yang pada awalnya mereka tidak turut campur dengan sistem pendidikan Islam di kalangan penduduk bumiputera. Agaknya kolonial baru ini mengizinkan sistem tersebut terus berjalan sebagaimana ia dibangun oleh dan selama kekuasaan Mataram. Namun, setahap demi setahap tekanan dan serangan mereka pada akhirnya tidak dapat dibendung, terlebih lagi setelah ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1775. Belanda berupaya keras untuk menekan pengaruh muslim di Jawa, dengan menggunakan kekuatan mereka di luar Yogyakarta dan Surakarta. Suasana dan aturan politik yang diciptakan oleh Belanda, benar-benar telah menghambat perkembangan institusi-institusi muslim, khususnya pesantren-pesantren. Tampaknya Belanda tidak berbeda jauh dengan Inggris yang menguasai Jawa sejak 1811 hingga 1816. kecurigaan pemerintah kolonial terhadap kaum muslim tampak semakin tajam sebagaimana diindikasikan oleh gubernur Hindia Timur, Sir Thomas Stamford Rafles. Dia menganggap para pemimpin muslim, khususnya para haji, sebagai musuh terbesar bagi setiap pemerintah kolonial. Pendek kata, hal ini memberi kesan bahwa kedua pemerintah kolonial tersebut tidak mendukung kemajuan kehidupan sosioreligius orang Jawa, dan tidak memberikan kebebasan kepada mereka untuk melaksanakan praktik-praktik keagamaan sebagaimana yang telah diberikan oleh kesultanan Mataram. Jawa pada abad-18 ditandai oleh campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam kehidupan masyarakat Jawa di satu sisi, dan munculnya identitas dan kehormatan diri diantara masyarakat Jawa di sisi lain. Patut dicatat bahwa semakin banyak tekanan dan operasi yang dilakukan oleh kaum kolonial, maka semakin positif respons kaum muslim terutama para santri dengan memandang agama mereka sebagai penggerak utama dalam upaya membebaskan diri mereka dari penindasan tersebut. Prinsip-prinsip kaum muslim Jawa untuk tetap bangkit dan melawan janji-janji kolonial membawa kepada periode sultan Agung, seorang figur yang tidak disangkal oleh komunitas sendiri. Pada 1614, tahun kedua dari pemerintahan Agung, Belanda mengirim seorang utusan untuk menyampaikan ucapan selamat atas penobatannya. Belanda sangat terkejut, dengan penuh keberanian beliau memperingatkan utusan itu bahwa persahabatan yang mereka inginkan adalah mustahil jika VOC coba menaklukkan tanah Jawa. Dalam kenyataannya, hingga akhir masa pemerintahan sultan Agung, peperangan melawan Belanda tidak pernah berhenti. Idiologi penolakannya didorong agama, sebagaimana terlihat selama perjuangannya melawan dominasi asing, dia didukung oleh 7000 mujahidin (pejuang) muslim. Sebagaimana dilaporkan bahwa mereka memiliki kekebalan karena mereka dilatih secara spiritual maupun fisik oleh ulama militan di daerah pedalaman sebelum mereka berangkat ke medan perang. Situasi yang sama terjadi pada permulaan dan akhir abad-19. Diponegoro (1785-1855) merupakan salah satu simbol lain dari kaum mujahidin Jawa atas perjuangannya melawan kolonial Belanda dalam perang Diponegoro (1825-1830). Dia memperoleh dukungan yang luar biasa dari ulama Jawa beserta para santrinya. Hubungan tersebut wajar karena Diponegoro sendiri sebelumnya juga memiliki kesempatan memperoleh pendidikan pesantren. Sikap anti kolonial Diponegoro didasarkan pada panggilan agama, sebagaimana musuh menyadari akan jiwa agama seperti itu. Pada tahun 1827, menteri kolonial Belanda, C. Th. Elout (1767-1841), memberi gambaran menarik tentang perhatian raja Belanda terhadap kenyataan bahwa pengaruh agama telah memainkan peranan krusial terhadap jalannya perlawanan. Hampir di setiap peperangan kelompok ulama, dengan menggunakan pakaian has mereka berupa jubah dan sorban, telah ikut ambil bagian, dan seruan mereka berhasil mengbarkan semangat pasukan Diponegoro lainnya. Pada bagian lain di Jawa, yaitu Jawa barat, terjadi pula perlawanan yang serupa. Pemberontakan sengit terjadi di Cilegon, Banten kota kelahiran Nawawi Al-Bantani, guru pesantren yang paling terkenal, pada bulan Juli 1888, yang terikat erat dengan gerakan kaum sufi, karena kebanyakan mereka yang terlibat dalam pemberontakan adalah para haji dan kyai. Lebih dari itu, sebagian pengikut tarekat Qodiriyah dan Naqsabandiyah ikut melakukan perelawanan terhadapa Belanda dalam pertempuran besar tersebut. Kerjasama dan solidaritas komunitas santri dalam “Perang Suci” ini bisa dijelaskan dengan memperhatikan peran mutlak kyai khususnya pada masa kritis dan loyalitas para santri yang tidak tergoyahkan kepada para gurunya sebagai bagian ketaatan mereka terhadapa agama. Para kyai memiliki otoritas untuk memeberikan fatwa bahwa memeprtahankan tanah air adalah kewajiban bagi setiap mukmin. Lebih dari itu, mengusir penjajah diidentikan dengan menolak bahaya, sebuah konsep hukum yang berkembang luas di kalangan santri. Landasan ideologi ini telah sedemikian familiar di kalangan masyarakat muslim Jawa, yang mayoritas mereka adalahh penganut madzhab Syafi’ie. Beberapa karya yang ditulis ulama Syafi’i terkemuka, seperti Al-Ghazali dan Al-Bajuri (seorang ahli hukum muslim abad-18), dan digunakan secara luas oleh santri dan ulama Jawa, membenarkan bahwa amar ma’ruf merupakan fardu kifayah dan dipandang sama pentingnya dengan jihad, berjuang, atau bertempur sebagai kewajiban agama. Oleh karena itu, sebagian muslim menolak untuk mematuhi para penguasa non muslim, dan tampaknya tak seorangpun mengingkari prinsip jihad ketika dipandang perlu dan ketika pemimpin kharismatik memfatwakan. Seluruh uraian di atas menunjukan bahwa terdapat hubungan dekat antara agama, pendidikan, dan kehidupan yang mengancam situasi damai. Dalam kenyataannya, terdapat sebab akibat di antara unsur-unsur ini. Hal ini sangat mungkin, karena unsur-unsur tersebut tidak pernah dapat dipisahkan dan secara konseptual dipandang sebagai sebuah insitas dalam Islam. Agama yang menbganjurkan totalitas keberagaman individu. Patut dicatat bahwa para kyai bukan saja kelompok yang berkewajiban merespon tantangan-tangan kaum kolonial. Ahmad chotib Minangkabau (1852-1915), insipirator dan guru kaum modernis muslim Indonesia tidak sepaham dengan Snouck Horgronje ketika berada si Mekkah pada tahun 1885. Chotib, seorang mufti As-Syafi’i di kota Mekkah asal Sumatera, Indonesia, tidak suka terhadap sarjana Belanda ini, yang berarti dia secara keagamaan juga anti Belanda. Namun, kebenciaannya agaknya ditunjukan secara samar dalam ungkapan tidak langsung dengan menggunakan elemen dan simbol keagamaan ketimbang dengan jargon politik yang sebenarnya. Sebagaimana ditunjukan dalam pernyataan-pernyataan di atas, pemerintah kolonial terus melakukan pembatasan-pembatasan di seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa. Hanya para ulama yang independen di daerah pedalaman sajalah yang tetap menjadi pengausa yang sesungguhnya di daerah mereka sendiri. Namun para ulama ini tetap menyadari kekuatan kolonial yang sebaliknya bisa membahayakan institusi mereka. Pemerintah kolonial cenderung menaruh kecurigaan terhadap institusi pendidikan dan keagamaan pribumi yang digunakan untuk melatih “para pejuang militan” guna melawan mereka. Sejalan dengan hal ini, watak pesantren itu memberikan kontribusi terhadap kemandirian dan ketahanan akan dominasinya dalam melawan serangan-serangan dari luar. Pesanren-pesantren pada priode yang dibahas di sini, dapat dipandang sebagai sebuah sistem pendidikan yang unik, dan bisa juga dilihat sebagai sebuah komunitas otonom di bawah para kiai kharismatik, yaitu suatu bagian dari populasi Jawa yang mempertahankan identitas keIslamannya secara sungguh-sungguh. Dengan kata lain, pandangan hidup mereka sebagai muslim cukup jelas dengan pendirian yang berorientasi Mekkah lebih tampak pada asal usul sendiri yang dituduh (dianggap) sinkretik. Pernyataan yang biasa ini pada umunya didasarkan pada asumsi bahwa orang Jawa tinggal jauh dari pusat Islam di Timur Tengah; versi Islam mereka bercampur dengan animistik lokal yang besar sekali. Peran pesantren terhadap pendidikan perilaku bagi santri penuh tantangan, karena harus meng-cover ketiga aspek eksternal pendidikan bagi anak, dengan kata lain pesantren harus menggantikan peran keluarga, guru di sekolah dan harus menciptakan masyarakat yang sehat. Problem pesantren saat ini hendaknya menarik keinginan dari akademisi dari PTAI, untuk mengambil peran penyelamatan pesantren. Kegiatan penanganan pesantren cukup menjanjikan sebagai lahan untuk pelaksanaan tridarma perguruan tinggi, terutama pengabdian masyarakat. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah perguruan tinggi. Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat merupakan wujud kepedulian perguruan tinggi sebagai lembaga yang menghasilkan individu intelektual untuk senantiasa berpartisipasi dalam pengembangan kualitas masyarakat. Dan pada akhirnya, memang santri, pesantren, dan kyai adalah tiga unsur yang tidak dapat terpisahkan yang dalam perjalanan sejarah memang memegang peranan penting, baik dalam penyebaran Islam, mempertahankan kebudayaan, pemersatu umat dalam bingkai multikultural, mengusir penjajah ataupun dalam segi keilmuan yakni mengajarkan pelajaran tradisional yang berupa kitab kuning.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinesen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1995.
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur Dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994.
Mas’ud, Abdurrahman. Dari Haramain Ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana, 2006.
Naim, Ngainun dan Sauqi, Achmad. Pendidikan Multikultural: Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Raffles, Stanford. The History Of Java II. London: t.p, 1817.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan Dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Yunus, Muhammad. Sejarah Pendidkan Islam Indonesia. Jakarta: t.p, 1983.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar