free counters

Minggu, 15 Januari 2012

KERAJAAN ISLAM KOTAWARINGIN KALIMANTAN TENGAH

A. Pendahuluan Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan diantara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin. Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah satu daerah di Negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Sebelum diperintah langsung oleh Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin menjadi wilayah Kerajaan Tanjungpura yang diperintah oleh orang Melayu. Tanjungpura menguasai wilayah dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau). Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan. Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. Jadi pada mulanya wilayah Kerajaan Kotawaringin meliputi wilayah paling barat Provinsi Kalimantan Tengah kemudian termasuk pula desa-desa di sebelah barat negeri Banjar yaitu wilayah Provinsi Kalimantan Tengah saat ini kecuali Tanah Dusun (Barito Hulu). Bahkan Kotawaringin sempat menguasai sebagian Kalimantan Barat dengan menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh, serta juga menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. B. Sejarah berdirinya kerajaan Islam Kotawaringin Sejarah Kotawaringin Barat dimulai dengan masuknya pengaruh kerajaan Hindu Majapahit di tahun 1365 dengan mengangkat kepala-kepala suku menjadi menteri kerajaan. Ini dibuktikan dengan disebutnya daerah Kotawaringin dalam pupuh XIII buku nagara kertagama karya Mpu Prapanca. Nama Kotawaringin berasal dari nama pohon beringin yang banyak tumbuh di daerah ini, dengan akarnya yang panjang dan dedaunan yang lebat. Soal nama ini dipertegas oleh peninggalan-peninggalan yang ditemukan, misalnya sepasang meriam di dekat istana kraton kerajaan Kotawaringin di Pangkalan Bun, nama kerajaan ini adalah Kota Ringin. Untuk memudahkan analisa sejarah kami tetap menggunakan nama Kotawaringin seperti nama kabupaten yang sekarang. Tentang tahun berdirinya kerajaan Kotawaringin terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa kerajaan ini baru dibangun oleh Pangeran adipati Anta Kesuma, putra raja Banjar Sultan Musta’inubillah (1650-1678), yang pergi kearah Barat 1679. Kerajaan Islam Kotawaringin ini meliputi Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Daerah lain di sekitarnya masih dibawah pimpinan kepala-kepala suku Dayak. Pendapat ini banyak didasari oleh tulisan Sanusi dan Lontaan yang tidak mencantumkan angka tahun pemerintahan raja-raja Kotawaringin dengan jelas. Sedang buku yang lebih baru Memori Hari Pahlawan ke 43 10 November 1988 di Pangkalan Bun angka tahunnya bercampur antara tahun masehi dan tahun Hijriah, dan keduanya tidak sesuai. Misalnya saja masa pemerintahan Sultan I disebutkan 1680 – 1687 M. Sedang sultan II disebut 920 – 941 H, bukankah 920 H itu adalah tahun 1499 M? Jadi sebelum Sultan I. Pendapat kedua, yang bersumber dari catatan yang ada di astana Alnursari di Kotawaringin Lama, mengatakan bahwa kerajaan ini di bangun tahun 1615. Terlepas dari perbedaan angka tahun ini, di tengah masyarakat ada cerita legenda akan nama-nama tempat di Kalimantan Tengah sebagai penamaan yang berasal dari pangeran Adipati Anta kesuma. Misalnya:nama Sampit, muncul karena pada waktu sang Pangeran menelusuri sungai mentaya tiba-tiba menemui tempat yang sempit sehingga diberi nama Sampit. Karena tempat yang sempit ini membuat perasaan tidak enak (disebut Sanusi sebagai perasaan mereka menjadi sempit), rombongan pangeran ini berbalik ke laut lagi. Setelah menelurusi pantai mereka menemukan lagi sebuah perkampungan di muara sebuah sungai yang membentuk teluk. Pangeran dan rombongan ingin bergabung dengan penduduk perkampungan ini. Sayang mereka ditolak dan meneruskan perjalanan dengan perahu ke hulu dengan menelusuri sungai Seruyan. Karena merasa di tolak atau dibuang itulah tempat ini diberi nama pembuang. Setelah sampai di desa Rantau Pulut, keadaan sungai menjadi semakin sempit dan dangkal sehingga tidak mungkin di lewati perahu. Rombongan memutuskan jalan darat. melewati desa Sambi menyeberangi anak sungai Arut sampai di desa Pandau dan bertemu dengan suku Dayak Arut yang dipimpin Patih Patinggi Diumpang. Kedua kelompok kemudian mengadakan permufakatan untuk menjalin hubungan yang baik. Menurut legenda, dalam permufakatan tadi dilakukan upacara yang meminta tumbal masing-masing kelompok satu orang untuk di bunuh dan di atas kuburan dua orang tumbal ini diletakkan sebuah batu peringatan yang disebut Ratu Petahan. Selanjutnya Pangeran Adipati Antakesuma menganugerahi pusakanya untuk suku Dayak Arut berupa Serompang Bakurung, Batung Batulis, Waluh Banjar dan Sangkuh Canggah.Pangeran Adipati Antakesuma beserta pengikutnva beristirahat beberapa hari, sesudah itu dengan diantar Patih Patinggi Diumpang mereka menghiliri sungai Arut. Setelah sampai di pertemuan sungai Arut dan sungai Lamandau, mereka belok ke kanan dan memudiki sungai Lamandau. Disatu tempat mereka mendarat dan mendirikan keraton yang dinamai Kutaringin yang kemudian diucapkan sebagai Kotawaringin. Keraton kerajaan Islam Kotawaringin ini terletak di tepi sungai Lamandau ini dibangun dengan konstruksi kayu semuanya. Karena kondisi tanah yang lembab serta kayu yang semakin lama semakin lapuk, tidak dapat ditemukan situs-situsnya. Pangeran Adipati Anta kesuma sebagai Sultan pertama membangun istana yang diberi nama Dalem Luhur atau Istana Luhur. Di dalam membangun istana dan kerajaan Kotawaringin ini sultan dibantu oleh seorang alim ulama yang bernama Kyai Gede. Kyai Gede adalah seorang Muslim yang menurut ceritanya, berbarengan dengan pembangunan Kotawaringin terjadilah satu kehebohan di hulu sungai Lamandau dengan diketemukannya sesosok tubuh hanyut sekarat terikat pada sebatang pisang. Tubuh tadi ditemukan oleh para wanita yang menimba air dinihari. Mereka memberitahukan kepada kepala sukunya, suku Dayak Lamandau. Kepala suku dengan pahlawan pahlawan perangnya segera menuju tempat dimana sesosok tubuh hanyut sekarat itu. Tatkala diteliti untuk diketahui identitasnya, tubuh yang sekarat tadi kelihatan menyeramkan dan nenakutkan. Sekali menengoknya, seram menakutkan rupanya. Ham¬pir saja kepala suku melayangkan mandaunya keleher orang hanyut itu. Untunglah ia masih sempat mengeluh minta tolong, mohon diselamatkan, walaupun dalam suasana yang hampir mati. Kepala suku tidak jadi membunuh malah bersama rakyatnya mengusung orang tadi ke rumah. Setelah dirawat dan orang tadi siuman kepala suku memberinya seorang pembantu. Sejak saat itulah terjadi persahatan antara kepala suku dan orang yang baru ditemukan tadi yang ternyata Kyai dari Jawa. Kiai ini memanggil suku Dayak Lamandau mamak dan Daya Lamandau menjulukinya naga/niaga. Ia diberi ruang bergerak yang bebas dalam kam¬pung suku Dayak. Karena ia seorang beragama Islam, mengerti tata tertib dan sopan santun, maka ia menjadi perhatian suku Dayak. Rakyat sangat tertarik dengan tutur kata yang menyegarkan rasa. Karena kepribadiannya yang baik itulah rakyat menamainya Kyai Gede. Kerajaan Kotawaringin berdiri lebih dari tiga abad dengan mengalami satu kali perpindahan dari Kotawaringin Lama ke Sukabumi yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah, adalah sultan Kotawaringin ke I dengan gelar Ratu Bagawan Kotawaringin. Memerintah dari tahun 1615 - 1630 M dengan Mangkubumi Kyai Gede. Pada hari tuanya Sultan pulang ke Bandarmasih (sekarang Banjarmasin, ibukota propinsi Kalimantan Selatan). Beliau wafat disana dan dimakamkan di desa Kuin Utara. Perihal wafatnya pangeran Adipati Antakesuma ini tidak ada catatan yang pasti. Selain wafat karena usia yang tua seperti dituturkan diatas, ada pendapat bahwa sebenarnya sang Pangeran pergi ke Banjarmasin atas panggilan Kakaknya sang sultan Banjar untuk membantu peprangan melawan kerajaan Pasir. Pangeran Adipati Antakesuma gugur di dalam peperangan ini. C. Raja-Raja Yang Memerintah Raja-raja/sultan yang pernah memerintah sejak 1679 hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut: a) Pangeran Adipati Antakusuma ( 1680- 1687) b) Pangeran Mas Adipati c) Pangeran Panembahan Anom d) Pangeran Prabu e) Pangeran Adipati Moda f) Pangeran Penghulu. g) Pangeran Ratu Bengawan h) Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha i) Pangeran Imanudin j) Pangeran Akhmad Hermansyah ( 1850- 1865) k) Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha ( 1865- 1904) l) Pangeran Ratu Sukma Negara ( 1905- 1913), m) Pangeran Ratu Sukma Alamsyah ( 1914- 1939) n) Pangeran Ratu Anom Alamsyah ( 1940- 1948). D. Cara Penggantian Raja-Raja Dan Pencapaiannya Di masa pemerintahan sultan pertama inilah disusun undang-undang kerajaan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntara. Selain membangun Istana Luhur sebagai keraton kerajaan Kotawaringin, Sang pangeran juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (panglima perang) Gadong Asam. Selain itu untuk keperluan perang dibangun pula Pa'agungan, sebagai tempat menyimpan senjata atau pusaka, membangun surau untuk keperluan ibadat, dan membangun sebuah paseban sebagai tempat para bawahan dan rakyat menghadap sultan. Setelah wafat Pangeran Adipati Anta kesuma digantikan oleh putranya Pangeran Mas Dipati sebagai sultan Kotawaringin ke II dengan mangkubumi Kyai Gede dan kemudian diganti oleh dipati Ganding. Memerintah dari tahun 1630 - 1655 M. Pada saat wafat sultan kedua ini dimakamkan di Kotawaringin. Sebagai pengganti, diangkatlah Pangeran Panembahan Anum bin Fangeran Mas Dipati, sebagai raja Kotawaringin ke III dengan mangkubumi Dipati Ganding. Memerintah dari tahun 1655 - 1682 M, berputera dua orang laki-laki dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin Dengan wafatnya pangeran Panembahan Anum, diangkatlah putranya Pangeran Prabu sebagai sultan Kotawaringin ke 1V dengan mangkubumi Pangeran Dira. Pangeran Prabu memerintah dari tahun 1682 sampai dengan tahun 1699 M, berputera tiga orang dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin. Pangeran Dipati Tuha bin Pangeran Prabu, diangkat sebagai raja Kotawaringin ke V dengan Mangkubumi pangeran Cakra. Sultan ke lima ini memerintah dari tahun 1699 sampai dengan tahun 1711 M, berputera tiga orang. Seperti para pendahulunya, setelah wafat sultan dikuburkan di Kotawaringin. Sebagai pengganti sultan ke V diangkatlah putranya Pangeran Penghulu bin Pangeran Dipati Tuha sebagai raja Kotawaringin ke VI dengan Mangkubumi Pangeran Anum. Memerintah dari tahun 1711-1727 M, berputera tujuh orang dan wafat serta dimakamkan di Kotawaringin. Pangeran Ratu Bagawan bin Pangeran Penghulu diangkat sebagai raja Kotawaringin ke VII dengan Mangkuhuai Pangeran Paku Negara. Memerintah dari tahun 1727 - 1761 M, berputera tujuh orang . Setelah wafat dimakamkan di Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan pembangunan mesjid Jami Kotawaringin, karena surau yang dibangun masa Pangeran Adipati Antakesuma sudah rusak. Pada pemerintahan Ratu Begawan sultan ke VII kerajaan Kotawaringin mengalami jaman keemasan. Pada masa ini pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di ekspor keluar daerah. Perdagangan hasil-hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran regional. Karena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin. Sistem organisasi pemerintahanpun telah maju dengan membagi tugas kepada para menteri berdasarkan wilayahnya. Dalam pembagian ini setiap kota dikepalai oleh seorang menteri seperti misalnya menteri Kumai, menteri Pangkalan Bu’un, menteri Jelai, dan seterusnya. Ironisnya, pada jaman keemasan itu, juga terjadi peristiwa yang menyedihkan yakni diserahkannya kerajaan Kotawaringin kepada pihak belanda oleh kerajaan Banjar. Pada saat itulah pertanggung jawaban pemerintahan harus dilakukan kepada kontrolir Belanda di Sampit. Walaupun demikian Belanda tetap tidak mengangkat seorang kontrolir langsung di Kotawaringin. Pangeran Ratu begawan yang wafat tahun 1761, digantikan oleh putranya Pangeran Ratu Anum Kesumayuda (Gusti Musaddam bin Pangeran Ratu Bagawan) sebagai raja Kotawaringin ke VIII dengan Mangkubuai Pangeran Tapa Sana. Memerintah dari tahun 1767-1805 M; berputera 16 orang. Setelah wafat dimakamkan di Kotawaringin. Di masa pemerintahannya dilaksanakan pembangunan pesantren di danau Gatal Kanan dan danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang), tempat mendidik putera-puteri kerajaan. Perlu dicatat disini sebagai bagian dari kerajaan Banjar, sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar pangeran. Ini menunjukkan kesantunan terhadap kerajaan Banjar yang lebih tua yang mana gelar rajanya sultan. Memang kemudian didalam lingkungan Kotawaringin para pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan, tetapi itu hanya untuk lingkungan di Kotawaringin, jika mereka ke Banjar, mereka disebut dengan gelar Pangeran. E. Kesimpulan Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan diantara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan. Adapun Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Islam Kotawaringin adalah: Pangeran Adipati Antakusuma ( 1680- 1687), Pangeran Mas Adipati, Pangeran Panembahan Anom, Pangeran Prabu, Pangeran Adipati Moda, Pangeran Penghulu, Pangeran Ratu Bengawan, Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha, Pangeran Imanudin, Pangeran Akhmad Hermansyah ( 1850- 1865), Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha ( 1865- 1904), Pangeran Ratu Sukma Negara ( 1905- 1913), Pangeran Ratu Sukma Alamsyah ( 1914- 1939), Pangeran Ratu Anom Alamsyah ( 1940- 1948). Pada pemerintahan Ratu Begawan sultan ke VII kerajaan Kotawaringin mengalami jaman keemasan. Pada masa ini pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di ekspor keluar daerah. Perdagangan hasil-hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat laku di pasaran regional. Karena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin. Sistem organisasi pemerintahanpun telah maju dengan membagi tugas kepada para menteri berdasarkan wilayahnya. Dalam pembagian ini setiap kota dikepalai oleh seorang menteri seperti misalnya menteri Kumai, menteri Pangkalan Bu’un, menteri Jelai, dan seterusnya. DAFTAR PUSTAKA http://irfan46.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_49.pdf Riwut, Tjilik. Kalimantan Membangun, Alam, Dan Kebudayaan. Yogyakarta: MR Publishing, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar