free counters

Minggu, 18 Maret 2012

TRENDY ‘POLITICAL DIVORCE’

A. ARTICEL
        The trendy of political breakpus between heads of regional adimistration and their deputies before completion of their term is a very regrettable and disapointing fact for voters, who elect pairs of leaders in the hope that they will be prepared to serve the people for at least the five year as mandated by the existing law.
According to home ministry data, 93,5 percent of 244 pairs of regional heads acros the country split up before their tenure ended between 2010 and 2011 the latest case in point is Jakarta deputy Governor Prijanto, who submited his resignation letter to the ministry and the Jakarta city legislative council, seven month before the next city gubernatory election.
We, the general public, do not know exactly the reasons for their breapus, but from a member of cases disharmony between pairs of regional heads Governors, regents and Mayors and their Deputies, we may conclude that they were politically motivated.
In many cases, Deputies to regional heads, who are unhappy with their second rank position, challage their bosses as they think they on obtain the higher position for themselves.
In the cases Prijanto, despite his rebuttal, the fact is he submitted his resignation after he had expressed his readinese to contest the governatorial race.
Deputies should be aware from the very beginning of their positions as the number- two persons in office, therefore quitting before their term in office is complete is morally unacceptable.
They should not resigned simply due to disapointment with their bosses; they have after all been elected by the people in pairs and as a package.
Whatever the reasons, such political breakpus are not in the interest of the general public. The state spends a large amount of taxpayers’ money to organize elections if the elected officers cannot remain united, why should the state waste such huges sums of money?
It is, therefore, understandable that home minister Gunawan Fauzi has proposed that regional elections should only elect the regional heads, who should then appoint their deputies themselves.
Homever, such a mecanisme is not without risk as the general public, through regional legistures, could not demand accountability from the deputies as the latter would argue that they wens appointed by the regional heads and need only report to them and not to the public.
It is indeed the right of every regional heads and their deputy to resign from office, but personal disharmony and dislike should not be used as an excuse for a brekup. Only valid reasons, such us permanent disability or equally serious issues, are acceptable.
Also important are clear job discriptions outlining the duties of regional heads and their deputies so as to avoid overlapping responsibility.
Quite apart from all these tecnicalitiy it is important to know as much as possible about all contestant in regional elections.
They must not votes for candidats who are only interested in againing power and other privileges but who neglect their obligation to serve the public once elected as regional heads and deputies.
Elected leaders must serve the interests of the electorate who have cast their votes from them not vice verse.
B. TERJEMAH
Para trendi breakpus politik antara kepala daerah dan wakil adinistrasi mereka sebelum menyelesaikan istilah mereka adalah fakta yang sangat disesalkan dan tidak berguna bagi pemilih, yang memilih pasangan pemimpin dengan harapan bahwa mereka akan siap untuk melayani orang-orang untuk setidaknya lima tahun sebagaimana diamanatkan oleh hukum yang ada.
Menurut data kementerian dalam negeri, 93,5 persen dari 244 pasangan kepala daerah dalam negeri berpisah sebelum masa jabatan mereka berakhir antara tahun 2010 dan 2011 kasus terbaru dalam hal ini adalah wakil Gubernur Jakarta Prijanto, yang mengajukan surat pengunduran dirinya kepada pelayanan dan dewan legislatif kota Jakarta, tujuh bulan sebelum pemilihan gubernur kota berikutnya.
Kami, masyarakat umum, tidak tahu persis alasan breakpus mereka, tetapi dari anggota kasus ketidakharmonisan antara pasangan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota dan Deputi mereka, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka bermotif politik.
Dalam banyak kasus, Deputi untuk kepala daerah, yang tidak senang dengan posisi peringkat kedua mereka, melombai bos mereka saat mereka pikir mereka pada mendapatkan posisi yang lebih tinggi untuk diri mereka sendiri.
Dalam kasus Prijanto, meskipun sanggahan nya, faktanya adalah ia mengajukan pengunduran dirinya setelah ia menyatakan keanggupan untuk kontes perlombaan kegubernuran.
Deputi harus menyadari dari awal posisi mereka sebagai nomor dua orang di kantor, karena itu berhenti sebelum masa mereka di kantor selesai secara moral tidak dapat diterima.
Mereka seharusnya tidak mengundurkan diri hanya karena kesalahpahaman dengan bos mereka, mereka telah setelah semua telah dipilih oleh rakyat secara berpasangan dan sebagai sebuah paket.
Apapun alasannya, breakpus politik tersebut tidak dalam kepentingan masyarakat umum. Negara menghabiskan sejumlah besar uang pembayar pajak 'untuk menyelenggarakan pemilihan jika petugas terpilih tidak dapat tetap bersatu, mengapa negara seperti limbah dengan jumlah uang yang sangat banyak?.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Menteri dalam negeri Gunawan Fauzi telah mengusulkan bahwa pemilihan kepala daerah hanya harus memilih kepala daerah, yang kemudian harus menunjuk deputi mereka sendiri.
Dimanapun, seperti mekanisme adalah bukan tanpa risiko sebagai masyarakat umum, melalui legislatif daerah, tidak bisa menuntut akuntabilitas dari para deputi sebagai yang terakhir akan berpendapat bahwa mereka akan ditunjuk oleh kepala daerah dan hanya perlu melaporkan kepada mereka dan tidak untuk umum.
Memang setiap kepala daerah dan wakil mereka berhak untuk mengundurkan diri dari kantor, namun ketidakharmonisan pribadi dan tidak suka tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk suatu brekpus. Hanya alasan yang sah, cacat permanen atau masalah serius, dapat diterima.
Juga penting adalah diskripsi pekerjaan yang jelas dalam menguraikan tugas kepala daerah dan wakil-wakil mereka sehingga untuk menghindari tumpang tindih tanggung jawab.
Terlepas dari semua teknik ini penting untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang semua kontestan dalam pemilihan daerah.
Mereka harus tidak bersuara untuk candidat yang hanya tertarik pada kekuasaan dan orang yang mempunyai hak istimewa tetapi mereka yang mengabaikan kewajiban lainnya untuk melayani publik sebagai pilihan sebagai kepala daerah dan wakil.
Pemimpin terpilih harus melayani kepentingan pemilih yang telah memberikan suara mereka dari mereka bukan ayat wakil.
sumber: Jakarta Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar